Selasa, 05 November 2013

# Mencium Wanita Non Mahram Termasuk Dosa #


Bagi muda-mudi yang memadu kasih di zaman ini, cipika-cipiki atau mencium pipi atau bibir pasangannya (yang non mahram) adalah suatu yang wajar dan lumrah. Namun hal ini tidaklah wajar dalam Islam karena hubungannya yang belum sah dalam pernikahan.
Ada hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Riyadhus Sholihin di mana hadits tersebut muttafaqun 'alaih, dari Ibnu Mas'ud, ia berkata,

أَنَّ رَجُلاً أَصَابَ مِنَ امْرَأَةٍ قُبْلَةً ، فَأَتَى النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَأَخْبَرَهُ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( أَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَىِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ) . فَقَالَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِى هَذَا قَالَ « لِجَمِيعِ أُمَّتِى كُلِّهِمْ »
Ada seseorang yang sengaja mencium seorang wanita (non mahram yang tidak halal baginya), lalu ia mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengabarkan tentang yang ia lakukan. Maka turunlah firman Allah Ta'ala (yang artinya), "Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam." (QS. Hud: 114). Laki-laki tersebut lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah pengampunan dosa seperti itu hanya khusus untuk aku?" Beliau bersabda, "Untuk seluruh umatku." (HR. Bukhari no. 526 dan Muslim no. 2763).

Yang dimaksud dalam kerjakanlah shalat di dua tepi siang, yaitu pagi dan petang adalah maksud untuk shalat Shubuh dan Maghrib. Sedangkan shalat yang dilakukan di awal malam adalah shalat Maghrib dan 'Isya.

Hadits ini secara jelas menunjukkan keutamaan shalat lima waktu di mana dapat menghapuskan dosa seperti yang diperbuat di atas. Sekaligus hadits tersebut juga menunjukkan bahwa mencium wanita yang tidak halal (alias: non mahram) adalah suatu dosa. Termasuk pula bersalaman dengan wanita non mahram termasuk dosa.

Namun lihatlah keadaan pergaulan muda-mudi saat ini, mencium pasangan yang non mahram dianggap hal biasa. Bahkan orang yang tidak punya pasangan seperti itu dianggap tabu. Padahal jelas-jelas nyata, menjalin kasih seperti ini dinilai dosa bahkan termasuk perantara menuju zina yang terlarang. Termasuk pula yang terlarang adalah berboncengan dengan wanita non mahram. Allah Ta'ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Isro': 32). Dan jelas-jelas perbuatan yang disebutkan di atas termasuk perantara menuju zina.

Semoga Allah memberi taufik pada pemuda-pemudi saat ini, moga mereka semakin dekat pada Allah dan diberi petunjuk untuk menjauhi yang Allah haramkan.

Referensi:

Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhish Sholihin, Dr. Musthofa Al Bugho, dll, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H, hal. 409.

By: Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat
# Hadits Lemah Tentang Keutamaan Berdagang #

بسم الله الرحمن الرحيم

عن نعيم بن عبد الرحمن الأزدي قال: بلغني أن رسول الله قال: تسعةُ أعشارِ الرزقِ في التجارةِ قال نعيمٌ : العشرُ الباقي في السائمةِ ، يعني : الغنمَ


Dari Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi, dia berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sembilan persepuluh (90 %) rezki ada pada (usaha) perdagangan”. Nu’aim berkata: “Usaha sepersepuluh (10 %) sisanya ada pada (ternak) kambing”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Musaddad bin Musarhad1 dan Imam Abu ‘Ubaid2 dengan sanad keduanya dari Dawud bin Abi Hind, dari Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Derajat Hadits
Hadits ini adalah hadits yang lemah karena Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi majhul (tidak dikenal). Imam Ibnu Abi Hatim menyebutnya dalam kitab “al-Jarhu wat ta’diil” (8/461) dengan membawakan riwayat hadits ini dan beliau tidak menyebutkan pujian atau kritikan, demikian pula Imam Al-Bukhari dalam kitab “at-Taariikhul kabiir” (8/97).

Imam Al-Bushiri berkata: “Hadits ini sanadnya lemah karena tidak dikenalnya Nu’aim bin ‘Abdir Rahman”3.

Sebab lain yang menjadikan hadits ini lemah adalah sanadnya yang mursal (tidak bersambung) karena Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi tidak pernah bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan dia adalah seorang Tabi’in (generasi yang datang setelah para Shahabat Radhiallahu’anhum).

Imam Ibnu Abi Hatim berkata: “Dia meriwayatkan (hadits) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (secara) mursal (sanadnya tidak bersambung)”4.

Imam al-‘Iraqi berkata: “Ibnu Mandah berkata tentang Nu’aim bin ‘Abdir Rahman: Ada yang menyebutnya sebagai Shahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tapi ini tidak benar. Abu Hatim ar-Razi dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia adalah seorang Tabi’in, maka hadits ini mursal (tidak bersambung)”5.
Syaikh al-Albani berkata: “Hadits ini sanadnya lemah karena tidak bersambung (mursal)6.

Hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Sa’id bin Manshur7 dalam kitab “as-Sunan” beliau dari jalur yang sama dengan menggandengkan Nu’aim bin ‘Abdir Rahman dengan Yahya bin jabir ath-Thaa-i.

Akan tetapi jalur ini tidak bisa mendukung jalur riwayat hadits di atas karena Yahya bin jabir meskipun dia seorang yang terpercaya, tapi dia juga seorang Tabi’in, sehingga sanad jalur ini juga mursal (tidak bersambung) dan memang Yahya bin jabir banyak meriwayatkan hadits mursal.

Imam Ibnu Hajar berkata tentangnya: “Dia terpercaya dan banyak meriwayatkan hadits mursal”8.

# Penipuan Masal #

Di zaman keterbukaan informasi semacam zaman kita ini, dunia seakan terasa sempit. Betapa tidak, dengan mudahnya anda menyampaikan informasi ke orang terjauh dan bahkan ke masyarakat umum tanpa harus bersusah payah. Kemajuan ini tentunya membawa berkah, namun juga berpotensi membawa petaka.

Betapa tidak, di zaman kita ini, siapapun bisa berbicara kepada publik, membuat analisa, dan lainnya. Bahkan bagi orang orang yang memiliki atau menguasai mass media dapat dengan mudah mempengaruhi opini publik.

Pecundang dianggap pejuang, pendusta dieluk-elukkan sehingga terkesan sebagai pahlawan. Orang bodoh lagi pandir diekspos secara terus menerus sehingga dianggap sebagai pakar, atau bahkan sebagai "satrio piningit" alias pahlawan pembawa perubahan, harapan masa depan, dan terus dieluk-elukkan.

Tiada hentinya media memberitakannya, dari hari ke hari, bahkan seakan setiap gerak dan geriknya tiada luput untuk diekspos dengan bahasa yang demikian rupa. Seakan mereka adalah fogur suci tanpa kesalahan dan haram untuk dikritisi. Karena itu siapapun yang mengkritisi mereka maka segera dikroyok ramai ramai oleh media pendukung satrio piningit gadungan tersebut.

Padahal kalau anda sedikit berpikir kritis saja, niscaya anda dapatkan segudang bukti akan kebobrokan mereka yang terus ditutup-tutupi.

Sebaliknya, media masa tiada lelah mengesankan buruk para pejuang sejati sehingga masyarakat menganggapnya sebagai pengkhianat. Orang baik tiada henti disudutkan dan dikorek-korek kesalahannya sehingga terkesan sebagai pengkhianat. Yang benar diberitakan sebagai kesalahan dan yang salah dikemas sedemikian rupa sehingga terkesan sebagai kesalahan yang tidak dapat diampuni. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إن بين يدي الساعة سنين خداعة يصدق فيها الكاذب ويكذب فيها الصادق ويؤتمن فيها الخائن ويخون فيها الأمين وينطق فيها الرويبضة. قيل: وما الرويبضة. قيل: المرء التافه يتكلم في أمر العامة ".
Sesungguhnya sebelum bangkitnya hari kiyamat akan ada beberapa tahun yang banyak terjadi penipuan. Pada saat itu pendusta dipercayai, sedangkan orang jujur didustakan. Pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yang manat dianggap berkhianat. Dan pada saat itu pula banyak bermunculan " ruwaibidhoh"? Spontan para sahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan " ruwaibidhoh" beliau menjawab: orang bodoh lagi hina namun banyak membicarakan urusan-urusan ummat banyak. ( Ahmad dan lainnya)

Fakta yang terjadi di sekitar kita di negri kita, nampaknya menjadi salah satu contoh nyata dari hadits di atas. Membaca hadits ini, terbetik khayalan: seakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam menceritakan fakta yang sedang kita alami pada saat ini.

By: Ust. Dr Muhammad Arifin Badri,MA
Kamu!! Ia kamu, bershalawatlah kepada Nabi Muhammad ~shallallahu 'alaihi wa sallam~

Dari Aus bin Aus berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيه
ِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَىَّ ». قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ يَقُولُونَ بَلِيتَ. فَقَالَ « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الأَرْضِ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ ».

“Sesungguhnya diantara hari yang paling utama adalah HARI JUM'AT; di hari tersebut Adam diciptakan dan dicabut nyawanya. Di hari itu terjadi tiupan sangkakala dan manusia jatuh tersungkur.
Maka perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari tersebut, karena shalawat kalian akan ditampakkan kepadaku.” Mereka berkata, “Bagaimana akan ditampakkan kepadamu sementara engkau telah menjadi tulang belulang?” beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan atas bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (HR Abu dawud).

# Kehidupan Rasulullah Sebelum Menikah #

Di masa mudanya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memiliki pekerjaan tetap. Namun banyak riwayat menyebutkan bahwa beliau bekerja sebagai penggembala kambing di perkampungan Bani Sa’ad. Selain itu terdapat pula riwayat bahwa beliau menggembalakan kambing penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath (salah satu bentuk dinar). Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:
ما بعث اللهُ نبيًّا إلا رعى الغنمَ . فقال أصحابُه : وأنت ؟ فقال : نعم ، كنتُ أرعاها على قراريطَ لأهلِ مكةَ
“tidaklah seorang Nabi diutus melainkan ia menggembala kambing“. para sahabat bertanya, “apakah engkau juga?”. Beliau menjawab, “iya, dahulu aku menggembala kambing penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath” (HR. Al Bukhari, no. 2262)

Selain itu disebutkan juga bahwa ketika berusia 25 tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan membawa modal dari Khadijah radhiallahu’anha yang ketika itu belum menjadi istri beliau.

Ibnu Ishaq berkata: “Khadijah binti Khuwailid ketika itu adalah pengusaha wanita yang memiliki banyak harta dan juga kedudukan terhormat. Ia mempekerjakan orang-orang untuk menjalankan usahanya dengan sistem mudharabah (bagi hasil) sehingga para pekerjanya pun mendapat keuntungan. Ketika itu pula, kaum Quraisy dikenal sebagai kaum pedagang. Tatkala Khadijah mendengar tentang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (yang ketika itu belum diutus menjadi Rasul, pent.) mengenai kejujuran lisannya, sifat amanahnya dan kemuliaan akhlaknya, maka ia pun mengutus orang untuk menemui Rasulullah. Khadijah menawarkan beliau untuk menjual barang-barangnya ke negeri Syam, didampingi seorang pemuda budaknya Khadijah yang bernama Maisarah. Khadijah pun memberi imbalan istimewa kepada beliau yang tidak diberikan kepada para pedagangnya yang lain.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun menerima tawaran itu dan lalu berangkat dengan barang dagangan Khadijah bersama budaknya yaitu Maisarah sampai ke negeri Syam” (Sirah Ibnu Hisyam, 187 – 188, dinukil dari Ar Rahiqul Makhtum, 1/51)

Referensi:
Ar Rahiqul Makhtum, 1/50-51, Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri
Shahih As Sirah An Nabawiyah, hal. 38, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

# Wanita Bersafar Tanpa Mahram #


Soal:
Bagaimanakah hukumnya seorang wanita bepergian -safar- (untuk sekolah di luar negeri/ naik gunung/ pergi ke pantai/ naik haji) sendiri, tanpa mahramnya?

Jawab:
Syaikh Sholeh Al Fauzan telah ditanya tentang wanita yang bepergian tanpa ditemani mahromnya. Beliau menjawab : “Wanita dilarang bepergian kecuali apabila ditemani oleh mahramnya yang menjaganya dari gangguan orang-orang jahat dan orang-orang fasik. Telah diriwayatkan hadits-hadits shohih yang melarang wanita bepergian tanpa mahrom, di antaranya yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhubahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda yang artinya,”Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahromnya.”.”

Diriwayatkan dari Abu Sa’id rodiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang wanita untuk bepergian sejauh perjalanan dua hari atau dua malam kecuali bersama suami atau mahromnya.

Diriwayatkan pula dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Tidak halal bagi wanita untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahromnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

[Silahkan lihat Fatwa-fatwa tentang wanita, jilid ke-3]

Kesimpulannya : Jika memang perjalanan yang dilakukan tersebut termasuk safar (yang patokannya berdasarkan ‘urf/kebiasaan, bukan jarak), maka wanita tersebut dilarang melakukan safar, kecuali bersama mahromnya. Dan wanita bukanlah mahrom, walaupun seratus wanita yang menemaninya.

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr : 7)

Wallahu waliyyut taufiq.

---

Penulis: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal


Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لو يُعْطَى الناسُ بدعواهُم لادّعَى قومٌ دماءَ قومٍ وأموالهُم ، ولكنّ البيّنَة على المُدّعِي ، واليمينُ على من أنكرَ حديث حسن رواه البيهقي وغيره هكذا وبعضه في الصحيحين
“Jika semua orang diberi hak (hanya) dengan dakwaan (klaim) mereka (semata), niscaya (akan) banyak orang yang mendakwakan (mengklaim) harta orang lain dan darah-darah mereka. Namun, bukti wajib didatangkan oleh pendakwa (pengklaim), dan sumpah harus diucapkan oleh orang yang mengingkari (tidak mengaku)”.
Hadits hasan, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan yang lainnya. Sebagian kandungan teks semisal tercantum dalam kitab Ash-Shahihain.

Penjelasan Hadits

  1. Hadis di atas merupakan hadis ke-33 yang dimuat Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dan yang lainnya. Makna hadis ini juga dimuat di kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
  2. Ibnu Daqiq Al-’Id, dalam Syarah Al-Arba’in, berkata, “Hadis ini merupakan salah satu pokok dasar hukum-hukum Islam, dan rujukan utama dalam masalah perselisihan dan permusuhan. Hadis ini mengajarkan bahwa seseorang tidak boleh dihukumi benar hanya dengan membenarkan tuduhannya saja”.
  3. Para ulama pakar kaidah fikih menjadikan hadis ini sebagai landasan kaidah yang berbunyi:
    البينة على المدعي واليمين على من أنكر ( أو عل المدعى عليه)
    “Bagi yang penuduh (pendakwa) wajib membawa bukti, sedangkan yang mengingkari (terdakwa) cukup bersumpah”.
    Makna kaidah:Al-bayyinah/bukti adalah sesuatu yang bisa untuk membuktikan sebuah hak atau klaim, dan hal ini untuk menetapkan kebenaran atas klaim seseorang.
    Pada dasarnya yang dimaksud dengan Al-bayyinah adalah saksi dalam semua perkara hukum, baik yang berhubungan dengan darah, harta, tindakan kriminal atau lainnya. Ketentuan saksi terdiri dari beberapa macam. Di antara ketentuan saksi adalah:
    1. Harus empat orang laki-laki. Dan ini berlaku pada persaksian dalam kasus perzinaan.
    2. Harus dua orang laki-laki. Dan ini berlaku pada semua tindak kriminal kecuali zina, juga pada pernikahan, perceraian, dan lainnya.
    3. Persaksian yang bisa dilakukan oleh dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua wanita atau satu laki-laki dan sumpah. Hal ini berlaku pada masalah yang berhubungan dengan harta. Seperti jual beli, sewa menyewa, dan lainnya.
    4. Persaksian yang bisa dilakukan oleh wanita saja. Hal ini berlaku pada masalah yang tidak bisa dilihat oleh kaum laki-laki, seperti masalah persusuan, haid, nifas, dan lainnya.
    Namun tidak selamanya Al-bayyinah itu berupa saksi, bisa jadi Al-bayyinah itu berupa keadaan yang sangat kuat yang mendukung salah satu dari yang menuntut atau dituntut. Sebagaimana yang Allah Ta’ala kisahkan di dalam Al-Quran tentang Nabi Yusuf ‘alaihisalam yang artinyaJika baju gamisnya koyak dimuka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak dibelakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang jujur. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak dibelakang, berkatalah dia, ‘Sesungguhnya kejadian ini adalah diantara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu sangat besar‘.” (QS. Yusuf: 26-28)
    Di ayat ini tidak ada saksi yang bisa dijadikan rujukan, namun qorinah (indikasi) yang sangat jelas menjadi bukti atas suatu tuduhan, yaitu terkoyaknya baju Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Al-bayyinah (bukti) di sini adalah segala sesuatu yang dapat menjelaskan dan menunjukkan kebenaran tuduhannya tersebut, baik berupa saksi-saksi, bukti-bukti penguat atau pun yang lainnya.
    Sedangkan makna Al-yamin adalah sumpah atas nama Allah Ta’ala bahwa dialah yang benar atas semua tuntutan, tuduhan, dan klaim. Dan semua yang dilakukan oleh yang mengklaim itu tidak benar. Para ulama sepakat bahwa sumpah yang sah adalah bila dilakukan dengan menyebut nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
    Adapun makna Al-Mudda’i adalah orang yang mengaku atau mengklaim/menuduh sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang tampak pada masyarakat. Apabila dia tidak mempermasalahkannya kepada hakim maka dia bebas dan tidak ada paksaan untuk melakukannya.
    Sedangkan makna Al-Mudda’a ‘alaihi adalah orang yang keadaannya dikuatkan dan didukung oleh kenyataan yang tampak pada masyarakat. Namun, bila ada pihak lain yang mempermasalahkannya maka dia dipaksa untuk menyelesaikannya dihadapkan hakim, dan apabila dia diam dan tidak berusaha menepis klaim yang ditujukan kepadanya maka dia harus menerima konsekuensi dari klaim tersebut.
  4. Imam An-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan tentang makna hadis di atas bahwa, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, seandainya setiap pendakwa (pengklaim) langsung divonis benar hanya dengan dakwaan atau tuduhannya saja kepada orang lain, niscaya hal ini akan menimbulkan banyak orang yang menuduh dan mengaku-ngaku/mengklaim harta dan darah orang lain. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan sesuatu yang dapat menyelesaikan permasalahan antara sesama manusia. Yaitu, dengan diminta (Al-bayyinah) bukti dari si pendakwa.
  5. Jika si pendakwa telah membawa bukti-bukti tersebut, maka baru dapat dihukumi/divonis dan dimenangkan dari terdakwa. Namun jika bukti-bukti tidak dimiliki pendakwa, maka si terdakwa diminta untuk bersumpah. Jika ia berkenan untuk bersumpah, maka ia terbebas dari tuduhan (si pendakwa). Dan jika ia tidak mau bersumpah, maka ia dihukumi menolak sumpah, dengan demikian dakwaan dan tuduhan si pendakwa harus dibenarkan.
  6. Berhati-hati dari mengklaim atau menuntut harta orang lainBisa jadi karena orang yang menuntut atau mengklaim memiliki kekuasaan atau uang, maka dia dapat dengan mudah membuat bukti-bukti palsu atau dengan mendatangkan persaksian palsu, seperti yang sering terjadi pada zaman sekarang di dalam masyarakat Islam. Coba kita renungkan sabda nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,
    قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ مِنْهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ فَلَا يَأْخُذْهُ
    “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadukan permasalahan/perseteruan kalian kepadaku, dan sesungguhnya aku hanyalah manuasia biasa. Dan bisa jadi salah seorang dari kalian pandai bersilat lidah/berargumen dan menjadikan aku memenangkannya dalam perkaranya disebabkan apa yang aku dengar darinya. (Namun ingatlah) barangsiapa yang aku menangkan perkaranya padahal itu merupakan hak saudarnya, maka pada hakikatnya aku sedang membagikan/memutuskan untuknya bagian dari neraka, maka janganlah sekali-kali dia mengambilnya.” (HR. Bukhari di kitab Shahih-nya)

Contoh dari penerapan hadis

Kaidah ini digunakan hampir dalam semua permasalahan hukum untuk menetapkan siapa yang berhak dan siapa yang tidak. Di sini akan disebutkan beberapa contoh yang dapat dikiaskan/dianalogikan pada kasus-kasus yang lain.
  1. Jika ada orang yang mengaku bahwa barang yang dipegang oleh seseorang itu adalah miliknya maka dia harus mendatangkan bukti atau saksi. Jika dia tidak bisa mendatangkan saksi maka cukup bagi yang dituntut untuk bersumpah atas nama Allah Ta’ala bahwa barang itu adalah miliknya.
  2. Jika ada seseorang yang menuduh seseorang berbuat zina, maka dia harus mendatangkan bukti berupa empat laki-laki yang menjadi saksi. Jika tidak, maka tidak sah tuduhannya dan dia berhak mendapat hukuman delapan puluh cambukkan karena menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti.
  3. Jika ada seseorang yang berhutang pada orang lain, lalu dia mengaku sudah membayarnya tapi diingkari oleh yang menghutangi, maka yang berhutang harus mendatangkan bukti. Jika tidak, maka cukup bagi yang menghutangi untuk bersumpah menepis klaim terhadapnya.

Ringkasan dari penjelasan hadis

  1. Sempurnanya syariat (konfrehensifitas) dalam menjaga hak-hak berupa harta dan darah manusia.
  2. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan mukjizat oleh Allah Ta’ala berupa Jawami’ul Kalim yaitu dengan sabda beliau yang ringkas namun memiliki makna dan penjelasan yang mencakup banyak aspek.
  3. Penjelasan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam tentang cara-cara/kiat yang dapat menyelesaikan perkara antara orang-orang yang berselisih.
  4. Jika si terdakwa tidak mengaku, maka si terdakwa harus mendatangkan bukti atas dakwaan dan tuduhannya.
  5. Jika tidak memiliki bukti, maka si terdakwa diminta untuk bersumpah. Jika ia bersumpah, maka ia terbebas dari tuduhan dan dakwaan tersebut. Dan jika tidak mau bersumpah, ia dihukumi telah menolak sumpah (dan dakwaan si pendakwa dibenarkan).
Demikianlah penjelasan singkat tentang hadis yang sangat agung ini, semoga penjelasan singkat ini dapat bermanfaat untuk penulis pribadi dan untuk para pembaca seluruhnya, amin…
24 Dzulhijjah 1434/ 29 oktober 2013
STDI Imam Syafi’i Jember,
Referensi:
  1. Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Al-Imam An-Nawawi
  2. Syarah Shahih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi
  3. Jami’ Al-’Ulum Walhikam karya Al-Imam Ibnu Rojab
  4. Penjelasan 50 Hadis Inti Ajaran Islam terjemahan dari kitab Fathul Qowiyil Matin karya Syaikh Abdul Muhsin Al-’abbad
  5. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami Karya Ustadz Ahmad Sabiq

like FB:hadits dan doa islami