Sabtu, 23 November 2013

Apa saja keutamaan ayat kursi?
Ternyata keutamaan ayat ini pernah diajarkan oleh setan pada sahabat Abu Hurairah.
Dalam Shahih Bukhari disebutkan kisah di atas secara lengkap sebagai berikut,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ وَكَّلَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ ، فَأَتَانِى آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ ، فَأَخَذْتُهُ ، وَقُلْتُ وَاللَّهِ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – . قَالَ إِنِّى مُحْتَاجٌ ، وَعَلَىَّ عِيَالٌ ، وَلِى حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ . قَالَ فَخَلَّيْتُ عَنْهُ فَأَصْبَحْتُ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ » . قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالاً فَرَحِمْتُهُ ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ . قَالَ « أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mewakilkan padaku untuk menjaga zakat Ramadhan (zakat fitrah). Lalu ada seseorang yang datang dan menumpahkan makanan dan mengambilnya. Aku pun mengatakan, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu ia berkata, “Aku ini benar-benar dalam keadaan butuh. Aku memiliki keluarga dan aku pun sangat membutuhkan ini.” Abu Hurairah berkata, “Aku membiarkannya. Lantas di pagi hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?” Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengadukan bahwa dia dalam keadaan butuh dan juga punya keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.
. فَعَرَفْتُ أَنَّهُ سَيَعُودُ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّهُ سَيَعُودُ . فَرَصَدْتُهُ فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – . قَالَ دَعْنِى فَإِنِّى مُحْتَاجٌ ، وَعَلَىَّ عِيَالٌ لاَ أَعُودُ ، فَرَحِمْتُهُ ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ ، فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ » . قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالاً ، فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ . قَالَ « أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ »
Aku pun tahu bahwasanya ia akan kembali sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan. Aku pun mengawasinya, ternyata ia pun datang dan menumpahkan makanan, lalu ia mengambilnya. Aku pun mengatakan, “Aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu ia berkata, “Biarkanlah aku, aku ini benar-benar dalam keadaan butuh. Aku memiliki keluarga dan aku tidak akan kembali setelah itu.” Abu Hurairah berkata, “Aku pun menaruh kasihan padanya, aku membiarkannya. Lantas di pagi hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu?” Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengadukan bahwa dia dalam keadaan butuh dan juga punya keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya pergi.” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.
. فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، وَهَذَا آخِرُ ثَلاَثِ مَرَّاتٍ أَنَّكَ تَزْعُمُ لاَ تَعُودُ ثُمَّ تَعُودُ . قَالَ دَعْنِى أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا . قُلْتُ مَا هُوَ قَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ . فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ ، فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ » . قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِى كَلِمَاتٍ ، يَنْفَعُنِى اللَّهُ بِهَا ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ . قَالَ « مَا هِىَ » . قُلْتُ قَالَ لِى إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ مِنْ أَوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) وَقَالَ لِى لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ ، وَكَانُوا أَحْرَصَ شَىْءٍ عَلَى الْخَيْرِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ » . قَالَ لاَ . قَالَ « ذَاكَ شَيْطَانٌ »
Pada hari ketiga, aku terus mengawasinya, ia pun datang dan menumpahkan makanan lalu mengambilnya. Aku pun mengatakan, “Aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini sudah kali ketiga, engkau katakan tidak akan kembali namun ternyata masih kembali. Ia pun berkata, “Biarkan aku. Aku akan mengajari suatu kalimat yang akan bermanfaat untukmu.” Abu Hurairah bertanya, “Apa itu?” Ia pun menjawab, “Jika engkau hendak tidur di ranjangmu, bacalah ayat kursi ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum …‘ hingga engkau menyelesaikan ayat tersebut. Faedahnya, Allah akan senantiasa menjagamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Abu Hurairah berkata, “Aku pun melepaskan dirinya dan ketika pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?” Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kalimat yang Allah beri manfaat padaku jika membacanya. Sehingga aku pun melepaskan dirinya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat tersebut?” Abu Hurairah menjawab, “Ia mengatakan padaku, jika aku hendak pergi tidur di ranjang, hendaklah membaca ayat kursi hingga selesai yaitu bacaan ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’. Lalu ia mengatakan padaku bahwa Allah akan senantiasa menjagaku dan setan pun tidak akan mendekatimu hingga pagi hari. Dan para sahabat lebih semangat dalam melakukan kebaikan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Adapun dia kala itu berkata benar, namun asalnya dia pendusta. Engkau tahu siapa yang bercakap denganmu sampai tiga malam itu, wahai Abu Hurairah?” ”Tidak”, jawab Abu Hurairah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari no. 2311).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam Bab “Jika seseorang mewakilkan pada orang lain (suatu barang), lalu yang diwakilkan membiarkannya (diambil), kemudian yang mewakilkan menyetujuinya setelah itu, maka itu boleh. Dan jika dia juga berniat meminjamkan hingga tempo tertentu, juga dibolehkan.”
2- Al Muhallab rahimahullah berkata, “Pelajaran yang bisa diambil dari judul bab, jika yang mewakilkan tidak menyetujuinya, maka orang yang diwakilkan tidak boleh melakukannya.”
3- Hadits ini menunjukkan bahwa zakat fitrah boleh dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dibagikan. Sedangkan waktu penyalurannya adalah pada saat malam hari raya Idul Fithri.
4- Ketika pencuri dalam hadits tersebut mengadu pada Abu Hurairah tentang keadaannya yang sangat butuh, Abu Hurairah meninggalkannya. Jadi, seakan-akan Abu Hurairah meminjamkan zakat tersebut pada pencuri tadi hingga waktu tertentu, yaitu ditunaikan saat penyaluran zakat (saat malam Idul Fithri).
5- Boleh mengadukan suatu kemungkaran pada hakim.
6- Hadits ini menunjukkan bahwa jin itu ada yang miskin karena dalam riwayat Abu Mutawakkil sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar  disebutkan bahwa setan yang mencuri tersebut mengambil zakat fitrah tadi untuk dibagikan pada fuqoro’ (para fakir) dari kalangan jin.
7- Maksud dari bacaan yang diajarkan setan dapat membawa manfaat adalah jika diucapkan, maka setan laki-laki maupun perempuan tidak akan mengganggu atau mendekat sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Mutawakkil yang dinukil oleh Ibnu Hajar.
8- Setan itu ada laki-laki dan perempuan.
9- Sifat seorang muslim adalah selalu membenarkan perkataan Nabinya. Lihatlah bagaimana Abu Hurairah begitu menaruh percaya pada perkataan Rasulnya bahwa besok pencuri tersebut akan datang.
10- Dalam riwayat Abu Mutawakkil disebutkan bahwa ayat kursi yang disebutkan dalam hadits dibaca ketika pagi dan petang. Sedangkan riwayat Bukhari di atas menyebutkan bahwa ayat kursi tersebut diamalkan sebelum tidur.
11- Hadits ini menunjukkan keutamaan (fadhilah) dari membaca Al Qur’an dan ayat kursi yaitu kita akan mendapatkan penjagaan Allah dan terlindung dari gangguan setan.
12- Para sahabat adalah orang yang paling semangat dalam melakukan kebaikan. Oleh karenanya, jika ada satu kebaikan yang tidak mereka lakukan, maka itu tanda amalan itu bukan kebaikan.
13- Setan itu asalnya pendusta.
14- Setan bisa saja mengajarkan sesuatu yang bermanfaat pada orang beriman.
15- Orang fajir (yang gemar maksiat) seperti setan kadang tidak membawa manfaat, lain waktu kadang membawa manfaat.
16- Bisa saja seseorang mengilmui sesuatu namun ia tidak mengamalkannya.
17- Bisa saja orang kafir itu benar dalam sesuatu yang tidak ditemui pada seorang muslim.
18- Orang yang biasa dusta bisa saja jujur pada satu waktu.
19- Setan bisa berubah wujud jadi manusia sehingga bisa dilihat.
20- Hadits ini juga menunjukkan bahwa jin juga memiliki makanan yang sama seperti manusia.
21- Jin bisa berbicara dengan bahasa yang digunakan manusia.
22- Jin bisa mencuri dan mengelabui orang lain.
23- Jin akan menyantap makanan yang tidak disebut nama Allah di dalamnya.
24- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mengetahui hal yang ghaib.
25- Boleh mengumpulkan zakat fitrah sebelum malam Idul Fithri.
26- Boleh menyerahkan zakat fitrah pada wakil untuk menjaga dan menyalurkannya.
27- Dari mana pun ilmu, dari setan sekali pun boleh diterima. Asalkan diketahui bahwa itu benar atau ada bukti benarnya. Namun jika tidak diketahui bukti benarnya, maka tidak boleh mengambil ilmu dari penjahat atau ahli maksiat.
Faedah berharga di atas, kami kembangkan dan ringkaskan dari penjelasan Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 6: 487-490.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:
Fathul Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H
Selesai disusun di pagi hari, 29 Syawal 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul
Artikel Muslim.Or.Id

Kamis, 14 November 2013

# Ulama Yang Berangan-Angan Punya Jenggot #

Abu Haamid Al-Gozzali rahimahullah berkata :
وقال شريح القاضي : وَدِدْتُ أَنَّ لِي لَحْيَةً وَلَوْ بَعَشْرَةِ آلاَفٍ
"Syuraih Al-Qoodhli berkata : "Aku berharap kalau aku memiliki jenggot, meskipun harus membayar 10 ribu dinar/dirham" (Ihyaa 'Uluum ad-Diin 2/257)
Al-Gozali juga berkata : 
قال أصحاب الأحنف بن قيس وددنا أن نشتري للأحنف لحية ولو بعشرين ألفا
"Para sahabat Al-Ahnaf bin Qois berkata, "Kami berangan-angan untuk membelikan jenggot buat Al-Ahnaf meskipun harus membayar 20 ribu dinar/dirham"
Kenapa bisa demikian??, Al-Gozali berkata :

فإن اللحية زينة الرجال ...وبها يتميز الرجال عن النساء
"Sesungguhnya jenggot adalah perhiasan para lelaki…dengannya terbedakan antara para lelaki dan para wanita" (Ihyaa 'Uluum ad-Diin 2/257)

Sebaliknya betapa banyak ustadz dan kiyai yang dianugerahi jenggot namun enggan dan risih sehingga segera mencukurnya !!! Bahkan sebagian mereka ikut-ikutan mencibir mereka yang berjenggot…

Bukankah Nabi kita berjenggot??

Yang lebih lucu lagi jika ada orang yahudi dan nashrani mencibir orang Islam yang berjenggot…bahkan dikatakan seperti kambing ??!!, apakah mereka lupa bahwa Nabi Musa 'alaihis salaam dan juga Nabi Isa –yang dianggap tuhan oleh mereka- juga berjenggot??



By: Ust. Firanda

Sabtu, 09 November 2013

# Syi'ah Menyakiti Nabi dan Ahlul Bait #

Ternyata Syi'ah pun menyakiti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan ahlul bait. Tidak percaya? Perhatikan perkataan mereka dalam kitab mereka sendiri.

Syi'ah berkata, "'Ali bin Abi Tholib lebih pemberani dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan Nabi sendiri tidak diberikan keberanian sama sekali." Lihat: Kitab Al Anwar An Nu'maniyyah karya Ni'matullah Al Jazairi, 1: 17.

Syi'ah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memiliki anak perempuan selain Fatimah. Adapun Ruqoyyah, Ummu Kultsum, Zainab hanyalah anak tiri." Lihat: Dairotul Ma'arif Al Islamiyah Asy Syi'iyah, 1: 27.

Syi'ah berkata, "Hasan bin 'Ali radhiyallahu 'anhuma, ia merendahkan orang mukmin karena ia mau saja berbai'at kepada Mu'awiyah." Lihat: Rijalul Al Kissyi karya Al Kissyi, hal. 103.

Di antara ahlul bait Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dikafirkan adalah Al 'Abbas. Mengenai 'Abbas bin 'Abdul Muthollib ini sampai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menurunkan dua ayat padanya. Ayat pertama,

وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلًا

"Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). " (QS. Al Isra': 72). Dan juga firman Allah,

وَلَا يَنْفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنْصَحَ لَكُمْ

"Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu" (QS. Hud: 34). Kedua ayat ini kata Syi'ah diturunkan pada paman Nabi, Al 'Abbas. Inilah yang disebutkan oleh Muhammad bin Al Hasan Ath Thusiy dalam dalam kitab beliau yang ma'ruf Rijalul Kissyi, hal. 127.

Semoga Allah menyelamatkan kita dari kesesatan Syi'ah. Hanya Allah yang memberi taufik.

# Kematian Yang Kembali Menyadarkan Kita #

Belia, muda, maupun tua tidak ada yang tahu, mereka pun bisa merasakan kematian. Setahun yang silam, kita barangkali melihat saudara kita dalam keadaan sehat bugar, ia pun masih muda dan kuat. Namun hari ini ternyata ia telah pergi meninggalkan kita. Kita pun tahu, kita tidak tahu kapan maut menjemput kita. Entah besok, entah lusa, entah kapan. Namun kematian sobat kita, itu sudah cukup sebagai pengingat, penyadar dari kelalaian kita. Bahwa kita pun akan sama dengannya, akan kembali pada Allah. Dunia akan kita tinggalkan di belakang. Dunia hanya sebagai lahan mencari bekal. Alam akhiratlah tempat akhir kita.

Sungguh kematian dari orang sekeliling kita banyak menyadarkan kita. Oleh karenanya, kita diperingatkan untuk banyak-banyak mengingat mati. Dan faedahnya amat banyak. Kami mengutarakan beberapa di antaranya kali ini.

Dianjurkan untuk mengingat mati dan mempersiapkan diri menghadap kematian …

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan” (HR. An Nasai no. 1824, Tirmidzi no. 2307 dan Ibnu Majah no. 4258 dan Ahmad 2: 292. Hadits ini hasan shahih menurut Syaikh Al Albani).
Yang dimaksud adalah kematian. Kematian disebut haadzim (pemutus) karena ia menjadi pemutus kelezatan dunia.


عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : « أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : « أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ ».

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).

Wahai diri ini yang lalai akan kematian, ingatlah faedah mengingat kematian …

-----------------------------------------------------------------------
[1] Mengingat kematian adalah termasuk ibadah tersendiri, dengan mengingatnya saja seseorang telah mendapatkan ganjaran karena inilah yang diperintahkan oleh suri tauladan kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2] Mengingat kematian membantu kita dalam khusyu’ dalam shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اذكرِ الموتَ فى صلاتِك فإنَّ الرجلَ إذا ذكر الموتَ فى صلاتِهِ فَحَرِىٌّ أن يحسنَ صلاتَه وصلِّ صلاةَ رجلٍ لا يظن أنه يصلى صلاةً غيرَها وإياك وكلَّ أمرٍ يعتذرُ منه

Ingatlah kematian dalam shalatmu karena jika seseorang mengingat mati dalam shalatnya, maka ia akan memperbagus shalatnya. Shalatlah seperti shalat orang yang tidak menyangka bahwa ia masih punya kesempatan melakukan shalat yang lainnya. Hati-hatilah dengan perkara yang kelak malah engkau meminta udzur (meralatnya) (karena tidak bisa memenuhinya).” (HR. Ad Dailami dalam musnad Al Firdaus. Hadits ini hasan sebagaimana kata Syaikh Al Albani)
[3] Mengingat kematian menjadikan seseorang semakin mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Allah. Karena barangsiapa mengetahui bahwa ia akan menjadi mayit kelak, ia pasti akan berjumpa dengan Allah. Jika tahu bahwa ia akan berjumpa Allah kelak padahal ia akan ditanya tentang amalnya didunia, maka ia pasti akan mempersiapkan jawaban.
[4] Mengingat kematian akan membuat seseorang memperbaiki hidupnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أكثروا ذكر هَاذِمِ اللَّذَّاتِ فإنه ما ذكره أحد فى ضيق من العيش إلا وسعه عليه ولا فى سعة إلا ضيقه عليه
“Perbanyaklah banyak mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian) karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang dan jika seseorang mengingatnya saat kehiupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu dengan dunia (sehingga lalai akan akhirat).” (HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani).
[5] Mengingat kematian membuat kita tidak berlaku zholim. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ
“Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan.” (QS. Al Muthoffifin: 4). Ayat ini dimaksudkan untuk orang-orang yang berlaku zholim dengan berbuat curang ketika menakar. Seandainya mereka tahu bahwa besok ada hari berbangkit dan akan dihisab satu per satu, tentu mereka tidak akan berbuat zholim seperti itu.
Nasehat ulama ….
Abu Darda’ berkata, “Jika mengingat mati, maka anggaplah dirimu akan seperti orang-orang yang telah meninggalkanmu”
Yang menakjubkan pula dari Ar Rabi’ bin Khutsaim …
Ia pernah menggali kubur di rumahnya. Jika dirinya dalam kotor (penuh dosa), ia bergegas memasuki lubang tersebut, berbaring dan berdiam di sana. Lalu ia membaca firman Allah Ta’ala,
رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ
“(Ketika datang kematian pada seseorang, lalu ia berkata): Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” (QS. Al Mu’minuun: 99-100). Ia pun terus mengulanginya dan ia berkata pada dirinya, “Wahai Rabi’, mungkinkah engkau kembali (jika telah mati)! Beramallah …”
Sumber bacaan: Ahkamul Janaiz Fiqhu Tajhizul Mayyit, Kholid Hannuw, terbitan Dar Al ‘Alamiyah, cetakan pertama, 1432 H, hal. 9-13

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Selasa, 05 November 2013

# Mencium Wanita Non Mahram Termasuk Dosa #


Bagi muda-mudi yang memadu kasih di zaman ini, cipika-cipiki atau mencium pipi atau bibir pasangannya (yang non mahram) adalah suatu yang wajar dan lumrah. Namun hal ini tidaklah wajar dalam Islam karena hubungannya yang belum sah dalam pernikahan.
Ada hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Riyadhus Sholihin di mana hadits tersebut muttafaqun 'alaih, dari Ibnu Mas'ud, ia berkata,

أَنَّ رَجُلاً أَصَابَ مِنَ امْرَأَةٍ قُبْلَةً ، فَأَتَى النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَأَخْبَرَهُ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( أَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَىِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ) . فَقَالَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِى هَذَا قَالَ « لِجَمِيعِ أُمَّتِى كُلِّهِمْ »
Ada seseorang yang sengaja mencium seorang wanita (non mahram yang tidak halal baginya), lalu ia mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengabarkan tentang yang ia lakukan. Maka turunlah firman Allah Ta'ala (yang artinya), "Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam." (QS. Hud: 114). Laki-laki tersebut lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah pengampunan dosa seperti itu hanya khusus untuk aku?" Beliau bersabda, "Untuk seluruh umatku." (HR. Bukhari no. 526 dan Muslim no. 2763).

Yang dimaksud dalam kerjakanlah shalat di dua tepi siang, yaitu pagi dan petang adalah maksud untuk shalat Shubuh dan Maghrib. Sedangkan shalat yang dilakukan di awal malam adalah shalat Maghrib dan 'Isya.

Hadits ini secara jelas menunjukkan keutamaan shalat lima waktu di mana dapat menghapuskan dosa seperti yang diperbuat di atas. Sekaligus hadits tersebut juga menunjukkan bahwa mencium wanita yang tidak halal (alias: non mahram) adalah suatu dosa. Termasuk pula bersalaman dengan wanita non mahram termasuk dosa.

Namun lihatlah keadaan pergaulan muda-mudi saat ini, mencium pasangan yang non mahram dianggap hal biasa. Bahkan orang yang tidak punya pasangan seperti itu dianggap tabu. Padahal jelas-jelas nyata, menjalin kasih seperti ini dinilai dosa bahkan termasuk perantara menuju zina yang terlarang. Termasuk pula yang terlarang adalah berboncengan dengan wanita non mahram. Allah Ta'ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Isro': 32). Dan jelas-jelas perbuatan yang disebutkan di atas termasuk perantara menuju zina.

Semoga Allah memberi taufik pada pemuda-pemudi saat ini, moga mereka semakin dekat pada Allah dan diberi petunjuk untuk menjauhi yang Allah haramkan.

Referensi:

Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhish Sholihin, Dr. Musthofa Al Bugho, dll, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H, hal. 409.

By: Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat
# Hadits Lemah Tentang Keutamaan Berdagang #

بسم الله الرحمن الرحيم

عن نعيم بن عبد الرحمن الأزدي قال: بلغني أن رسول الله قال: تسعةُ أعشارِ الرزقِ في التجارةِ قال نعيمٌ : العشرُ الباقي في السائمةِ ، يعني : الغنمَ


Dari Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi, dia berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sembilan persepuluh (90 %) rezki ada pada (usaha) perdagangan”. Nu’aim berkata: “Usaha sepersepuluh (10 %) sisanya ada pada (ternak) kambing”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Musaddad bin Musarhad1 dan Imam Abu ‘Ubaid2 dengan sanad keduanya dari Dawud bin Abi Hind, dari Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Derajat Hadits
Hadits ini adalah hadits yang lemah karena Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi majhul (tidak dikenal). Imam Ibnu Abi Hatim menyebutnya dalam kitab “al-Jarhu wat ta’diil” (8/461) dengan membawakan riwayat hadits ini dan beliau tidak menyebutkan pujian atau kritikan, demikian pula Imam Al-Bukhari dalam kitab “at-Taariikhul kabiir” (8/97).

Imam Al-Bushiri berkata: “Hadits ini sanadnya lemah karena tidak dikenalnya Nu’aim bin ‘Abdir Rahman”3.

Sebab lain yang menjadikan hadits ini lemah adalah sanadnya yang mursal (tidak bersambung) karena Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi tidak pernah bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan dia adalah seorang Tabi’in (generasi yang datang setelah para Shahabat Radhiallahu’anhum).

Imam Ibnu Abi Hatim berkata: “Dia meriwayatkan (hadits) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (secara) mursal (sanadnya tidak bersambung)”4.

Imam al-‘Iraqi berkata: “Ibnu Mandah berkata tentang Nu’aim bin ‘Abdir Rahman: Ada yang menyebutnya sebagai Shahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tapi ini tidak benar. Abu Hatim ar-Razi dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia adalah seorang Tabi’in, maka hadits ini mursal (tidak bersambung)”5.
Syaikh al-Albani berkata: “Hadits ini sanadnya lemah karena tidak bersambung (mursal)6.

Hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Sa’id bin Manshur7 dalam kitab “as-Sunan” beliau dari jalur yang sama dengan menggandengkan Nu’aim bin ‘Abdir Rahman dengan Yahya bin jabir ath-Thaa-i.

Akan tetapi jalur ini tidak bisa mendukung jalur riwayat hadits di atas karena Yahya bin jabir meskipun dia seorang yang terpercaya, tapi dia juga seorang Tabi’in, sehingga sanad jalur ini juga mursal (tidak bersambung) dan memang Yahya bin jabir banyak meriwayatkan hadits mursal.

Imam Ibnu Hajar berkata tentangnya: “Dia terpercaya dan banyak meriwayatkan hadits mursal”8.

# Penipuan Masal #

Di zaman keterbukaan informasi semacam zaman kita ini, dunia seakan terasa sempit. Betapa tidak, dengan mudahnya anda menyampaikan informasi ke orang terjauh dan bahkan ke masyarakat umum tanpa harus bersusah payah. Kemajuan ini tentunya membawa berkah, namun juga berpotensi membawa petaka.

Betapa tidak, di zaman kita ini, siapapun bisa berbicara kepada publik, membuat analisa, dan lainnya. Bahkan bagi orang orang yang memiliki atau menguasai mass media dapat dengan mudah mempengaruhi opini publik.

Pecundang dianggap pejuang, pendusta dieluk-elukkan sehingga terkesan sebagai pahlawan. Orang bodoh lagi pandir diekspos secara terus menerus sehingga dianggap sebagai pakar, atau bahkan sebagai "satrio piningit" alias pahlawan pembawa perubahan, harapan masa depan, dan terus dieluk-elukkan.

Tiada hentinya media memberitakannya, dari hari ke hari, bahkan seakan setiap gerak dan geriknya tiada luput untuk diekspos dengan bahasa yang demikian rupa. Seakan mereka adalah fogur suci tanpa kesalahan dan haram untuk dikritisi. Karena itu siapapun yang mengkritisi mereka maka segera dikroyok ramai ramai oleh media pendukung satrio piningit gadungan tersebut.

Padahal kalau anda sedikit berpikir kritis saja, niscaya anda dapatkan segudang bukti akan kebobrokan mereka yang terus ditutup-tutupi.

Sebaliknya, media masa tiada lelah mengesankan buruk para pejuang sejati sehingga masyarakat menganggapnya sebagai pengkhianat. Orang baik tiada henti disudutkan dan dikorek-korek kesalahannya sehingga terkesan sebagai pengkhianat. Yang benar diberitakan sebagai kesalahan dan yang salah dikemas sedemikian rupa sehingga terkesan sebagai kesalahan yang tidak dapat diampuni. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إن بين يدي الساعة سنين خداعة يصدق فيها الكاذب ويكذب فيها الصادق ويؤتمن فيها الخائن ويخون فيها الأمين وينطق فيها الرويبضة. قيل: وما الرويبضة. قيل: المرء التافه يتكلم في أمر العامة ".
Sesungguhnya sebelum bangkitnya hari kiyamat akan ada beberapa tahun yang banyak terjadi penipuan. Pada saat itu pendusta dipercayai, sedangkan orang jujur didustakan. Pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yang manat dianggap berkhianat. Dan pada saat itu pula banyak bermunculan " ruwaibidhoh"? Spontan para sahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan " ruwaibidhoh" beliau menjawab: orang bodoh lagi hina namun banyak membicarakan urusan-urusan ummat banyak. ( Ahmad dan lainnya)

Fakta yang terjadi di sekitar kita di negri kita, nampaknya menjadi salah satu contoh nyata dari hadits di atas. Membaca hadits ini, terbetik khayalan: seakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam menceritakan fakta yang sedang kita alami pada saat ini.

By: Ust. Dr Muhammad Arifin Badri,MA
Kamu!! Ia kamu, bershalawatlah kepada Nabi Muhammad ~shallallahu 'alaihi wa sallam~

Dari Aus bin Aus berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيه
ِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَىَّ ». قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ يَقُولُونَ بَلِيتَ. فَقَالَ « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الأَرْضِ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ ».

“Sesungguhnya diantara hari yang paling utama adalah HARI JUM'AT; di hari tersebut Adam diciptakan dan dicabut nyawanya. Di hari itu terjadi tiupan sangkakala dan manusia jatuh tersungkur.
Maka perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari tersebut, karena shalawat kalian akan ditampakkan kepadaku.” Mereka berkata, “Bagaimana akan ditampakkan kepadamu sementara engkau telah menjadi tulang belulang?” beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan atas bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (HR Abu dawud).

# Kehidupan Rasulullah Sebelum Menikah #

Di masa mudanya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memiliki pekerjaan tetap. Namun banyak riwayat menyebutkan bahwa beliau bekerja sebagai penggembala kambing di perkampungan Bani Sa’ad. Selain itu terdapat pula riwayat bahwa beliau menggembalakan kambing penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath (salah satu bentuk dinar). Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:
ما بعث اللهُ نبيًّا إلا رعى الغنمَ . فقال أصحابُه : وأنت ؟ فقال : نعم ، كنتُ أرعاها على قراريطَ لأهلِ مكةَ
“tidaklah seorang Nabi diutus melainkan ia menggembala kambing“. para sahabat bertanya, “apakah engkau juga?”. Beliau menjawab, “iya, dahulu aku menggembala kambing penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath” (HR. Al Bukhari, no. 2262)

Selain itu disebutkan juga bahwa ketika berusia 25 tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan membawa modal dari Khadijah radhiallahu’anha yang ketika itu belum menjadi istri beliau.

Ibnu Ishaq berkata: “Khadijah binti Khuwailid ketika itu adalah pengusaha wanita yang memiliki banyak harta dan juga kedudukan terhormat. Ia mempekerjakan orang-orang untuk menjalankan usahanya dengan sistem mudharabah (bagi hasil) sehingga para pekerjanya pun mendapat keuntungan. Ketika itu pula, kaum Quraisy dikenal sebagai kaum pedagang. Tatkala Khadijah mendengar tentang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (yang ketika itu belum diutus menjadi Rasul, pent.) mengenai kejujuran lisannya, sifat amanahnya dan kemuliaan akhlaknya, maka ia pun mengutus orang untuk menemui Rasulullah. Khadijah menawarkan beliau untuk menjual barang-barangnya ke negeri Syam, didampingi seorang pemuda budaknya Khadijah yang bernama Maisarah. Khadijah pun memberi imbalan istimewa kepada beliau yang tidak diberikan kepada para pedagangnya yang lain.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun menerima tawaran itu dan lalu berangkat dengan barang dagangan Khadijah bersama budaknya yaitu Maisarah sampai ke negeri Syam” (Sirah Ibnu Hisyam, 187 – 188, dinukil dari Ar Rahiqul Makhtum, 1/51)

Referensi:
Ar Rahiqul Makhtum, 1/50-51, Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri
Shahih As Sirah An Nabawiyah, hal. 38, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

# Wanita Bersafar Tanpa Mahram #


Soal:
Bagaimanakah hukumnya seorang wanita bepergian -safar- (untuk sekolah di luar negeri/ naik gunung/ pergi ke pantai/ naik haji) sendiri, tanpa mahramnya?

Jawab:
Syaikh Sholeh Al Fauzan telah ditanya tentang wanita yang bepergian tanpa ditemani mahromnya. Beliau menjawab : “Wanita dilarang bepergian kecuali apabila ditemani oleh mahramnya yang menjaganya dari gangguan orang-orang jahat dan orang-orang fasik. Telah diriwayatkan hadits-hadits shohih yang melarang wanita bepergian tanpa mahrom, di antaranya yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhubahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda yang artinya,”Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahromnya.”.”

Diriwayatkan dari Abu Sa’id rodiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang wanita untuk bepergian sejauh perjalanan dua hari atau dua malam kecuali bersama suami atau mahromnya.

Diriwayatkan pula dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Tidak halal bagi wanita untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahromnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

[Silahkan lihat Fatwa-fatwa tentang wanita, jilid ke-3]

Kesimpulannya : Jika memang perjalanan yang dilakukan tersebut termasuk safar (yang patokannya berdasarkan ‘urf/kebiasaan, bukan jarak), maka wanita tersebut dilarang melakukan safar, kecuali bersama mahromnya. Dan wanita bukanlah mahrom, walaupun seratus wanita yang menemaninya.

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr : 7)

Wallahu waliyyut taufiq.

---

Penulis: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal


Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لو يُعْطَى الناسُ بدعواهُم لادّعَى قومٌ دماءَ قومٍ وأموالهُم ، ولكنّ البيّنَة على المُدّعِي ، واليمينُ على من أنكرَ حديث حسن رواه البيهقي وغيره هكذا وبعضه في الصحيحين
“Jika semua orang diberi hak (hanya) dengan dakwaan (klaim) mereka (semata), niscaya (akan) banyak orang yang mendakwakan (mengklaim) harta orang lain dan darah-darah mereka. Namun, bukti wajib didatangkan oleh pendakwa (pengklaim), dan sumpah harus diucapkan oleh orang yang mengingkari (tidak mengaku)”.
Hadits hasan, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan yang lainnya. Sebagian kandungan teks semisal tercantum dalam kitab Ash-Shahihain.

Penjelasan Hadits

  1. Hadis di atas merupakan hadis ke-33 yang dimuat Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dan yang lainnya. Makna hadis ini juga dimuat di kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
  2. Ibnu Daqiq Al-’Id, dalam Syarah Al-Arba’in, berkata, “Hadis ini merupakan salah satu pokok dasar hukum-hukum Islam, dan rujukan utama dalam masalah perselisihan dan permusuhan. Hadis ini mengajarkan bahwa seseorang tidak boleh dihukumi benar hanya dengan membenarkan tuduhannya saja”.
  3. Para ulama pakar kaidah fikih menjadikan hadis ini sebagai landasan kaidah yang berbunyi:
    البينة على المدعي واليمين على من أنكر ( أو عل المدعى عليه)
    “Bagi yang penuduh (pendakwa) wajib membawa bukti, sedangkan yang mengingkari (terdakwa) cukup bersumpah”.
    Makna kaidah:Al-bayyinah/bukti adalah sesuatu yang bisa untuk membuktikan sebuah hak atau klaim, dan hal ini untuk menetapkan kebenaran atas klaim seseorang.
    Pada dasarnya yang dimaksud dengan Al-bayyinah adalah saksi dalam semua perkara hukum, baik yang berhubungan dengan darah, harta, tindakan kriminal atau lainnya. Ketentuan saksi terdiri dari beberapa macam. Di antara ketentuan saksi adalah:
    1. Harus empat orang laki-laki. Dan ini berlaku pada persaksian dalam kasus perzinaan.
    2. Harus dua orang laki-laki. Dan ini berlaku pada semua tindak kriminal kecuali zina, juga pada pernikahan, perceraian, dan lainnya.
    3. Persaksian yang bisa dilakukan oleh dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua wanita atau satu laki-laki dan sumpah. Hal ini berlaku pada masalah yang berhubungan dengan harta. Seperti jual beli, sewa menyewa, dan lainnya.
    4. Persaksian yang bisa dilakukan oleh wanita saja. Hal ini berlaku pada masalah yang tidak bisa dilihat oleh kaum laki-laki, seperti masalah persusuan, haid, nifas, dan lainnya.
    Namun tidak selamanya Al-bayyinah itu berupa saksi, bisa jadi Al-bayyinah itu berupa keadaan yang sangat kuat yang mendukung salah satu dari yang menuntut atau dituntut. Sebagaimana yang Allah Ta’ala kisahkan di dalam Al-Quran tentang Nabi Yusuf ‘alaihisalam yang artinyaJika baju gamisnya koyak dimuka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak dibelakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang jujur. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak dibelakang, berkatalah dia, ‘Sesungguhnya kejadian ini adalah diantara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu sangat besar‘.” (QS. Yusuf: 26-28)
    Di ayat ini tidak ada saksi yang bisa dijadikan rujukan, namun qorinah (indikasi) yang sangat jelas menjadi bukti atas suatu tuduhan, yaitu terkoyaknya baju Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Al-bayyinah (bukti) di sini adalah segala sesuatu yang dapat menjelaskan dan menunjukkan kebenaran tuduhannya tersebut, baik berupa saksi-saksi, bukti-bukti penguat atau pun yang lainnya.
    Sedangkan makna Al-yamin adalah sumpah atas nama Allah Ta’ala bahwa dialah yang benar atas semua tuntutan, tuduhan, dan klaim. Dan semua yang dilakukan oleh yang mengklaim itu tidak benar. Para ulama sepakat bahwa sumpah yang sah adalah bila dilakukan dengan menyebut nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
    Adapun makna Al-Mudda’i adalah orang yang mengaku atau mengklaim/menuduh sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang tampak pada masyarakat. Apabila dia tidak mempermasalahkannya kepada hakim maka dia bebas dan tidak ada paksaan untuk melakukannya.
    Sedangkan makna Al-Mudda’a ‘alaihi adalah orang yang keadaannya dikuatkan dan didukung oleh kenyataan yang tampak pada masyarakat. Namun, bila ada pihak lain yang mempermasalahkannya maka dia dipaksa untuk menyelesaikannya dihadapkan hakim, dan apabila dia diam dan tidak berusaha menepis klaim yang ditujukan kepadanya maka dia harus menerima konsekuensi dari klaim tersebut.
  4. Imam An-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan tentang makna hadis di atas bahwa, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, seandainya setiap pendakwa (pengklaim) langsung divonis benar hanya dengan dakwaan atau tuduhannya saja kepada orang lain, niscaya hal ini akan menimbulkan banyak orang yang menuduh dan mengaku-ngaku/mengklaim harta dan darah orang lain. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan sesuatu yang dapat menyelesaikan permasalahan antara sesama manusia. Yaitu, dengan diminta (Al-bayyinah) bukti dari si pendakwa.
  5. Jika si pendakwa telah membawa bukti-bukti tersebut, maka baru dapat dihukumi/divonis dan dimenangkan dari terdakwa. Namun jika bukti-bukti tidak dimiliki pendakwa, maka si terdakwa diminta untuk bersumpah. Jika ia berkenan untuk bersumpah, maka ia terbebas dari tuduhan (si pendakwa). Dan jika ia tidak mau bersumpah, maka ia dihukumi menolak sumpah, dengan demikian dakwaan dan tuduhan si pendakwa harus dibenarkan.
  6. Berhati-hati dari mengklaim atau menuntut harta orang lainBisa jadi karena orang yang menuntut atau mengklaim memiliki kekuasaan atau uang, maka dia dapat dengan mudah membuat bukti-bukti palsu atau dengan mendatangkan persaksian palsu, seperti yang sering terjadi pada zaman sekarang di dalam masyarakat Islam. Coba kita renungkan sabda nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,
    قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ مِنْهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ فَلَا يَأْخُذْهُ
    “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadukan permasalahan/perseteruan kalian kepadaku, dan sesungguhnya aku hanyalah manuasia biasa. Dan bisa jadi salah seorang dari kalian pandai bersilat lidah/berargumen dan menjadikan aku memenangkannya dalam perkaranya disebabkan apa yang aku dengar darinya. (Namun ingatlah) barangsiapa yang aku menangkan perkaranya padahal itu merupakan hak saudarnya, maka pada hakikatnya aku sedang membagikan/memutuskan untuknya bagian dari neraka, maka janganlah sekali-kali dia mengambilnya.” (HR. Bukhari di kitab Shahih-nya)

Contoh dari penerapan hadis

Kaidah ini digunakan hampir dalam semua permasalahan hukum untuk menetapkan siapa yang berhak dan siapa yang tidak. Di sini akan disebutkan beberapa contoh yang dapat dikiaskan/dianalogikan pada kasus-kasus yang lain.
  1. Jika ada orang yang mengaku bahwa barang yang dipegang oleh seseorang itu adalah miliknya maka dia harus mendatangkan bukti atau saksi. Jika dia tidak bisa mendatangkan saksi maka cukup bagi yang dituntut untuk bersumpah atas nama Allah Ta’ala bahwa barang itu adalah miliknya.
  2. Jika ada seseorang yang menuduh seseorang berbuat zina, maka dia harus mendatangkan bukti berupa empat laki-laki yang menjadi saksi. Jika tidak, maka tidak sah tuduhannya dan dia berhak mendapat hukuman delapan puluh cambukkan karena menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti.
  3. Jika ada seseorang yang berhutang pada orang lain, lalu dia mengaku sudah membayarnya tapi diingkari oleh yang menghutangi, maka yang berhutang harus mendatangkan bukti. Jika tidak, maka cukup bagi yang menghutangi untuk bersumpah menepis klaim terhadapnya.

Ringkasan dari penjelasan hadis

  1. Sempurnanya syariat (konfrehensifitas) dalam menjaga hak-hak berupa harta dan darah manusia.
  2. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan mukjizat oleh Allah Ta’ala berupa Jawami’ul Kalim yaitu dengan sabda beliau yang ringkas namun memiliki makna dan penjelasan yang mencakup banyak aspek.
  3. Penjelasan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam tentang cara-cara/kiat yang dapat menyelesaikan perkara antara orang-orang yang berselisih.
  4. Jika si terdakwa tidak mengaku, maka si terdakwa harus mendatangkan bukti atas dakwaan dan tuduhannya.
  5. Jika tidak memiliki bukti, maka si terdakwa diminta untuk bersumpah. Jika ia bersumpah, maka ia terbebas dari tuduhan dan dakwaan tersebut. Dan jika tidak mau bersumpah, ia dihukumi telah menolak sumpah (dan dakwaan si pendakwa dibenarkan).
Demikianlah penjelasan singkat tentang hadis yang sangat agung ini, semoga penjelasan singkat ini dapat bermanfaat untuk penulis pribadi dan untuk para pembaca seluruhnya, amin…
24 Dzulhijjah 1434/ 29 oktober 2013
STDI Imam Syafi’i Jember,
Referensi:
  1. Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Al-Imam An-Nawawi
  2. Syarah Shahih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi
  3. Jami’ Al-’Ulum Walhikam karya Al-Imam Ibnu Rojab
  4. Penjelasan 50 Hadis Inti Ajaran Islam terjemahan dari kitab Fathul Qowiyil Matin karya Syaikh Abdul Muhsin Al-’abbad
  5. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami Karya Ustadz Ahmad Sabiq

like FB:hadits dan doa islami

Senin, 04 November 2013

“ALLAAHUMMA ANTA RABBII LAA ILAAHA ILLAA ANTA KHALAQTANII WA ANAA ‘ABDUKA WA ANAA ‘ALAA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHA’TU, A’UUDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHANA’TU WA ABUU-U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA A’TARIFU BIDZUNUUBII FAGHFIR LII DZUNUUBII, INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA”

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ وَأَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَعْتَرِفُ بِذُنُوبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Huraits telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abu Hazim?? dari Katsir bin Zaid? dari Utsman bin Rabi’ah? dari Syaddad bin Aus? radliallahu ‘anhu bahwa Nabi? shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Maukah aku tunjukkan kepadamu sayyid istighfar? Yaitu ALLAAHUMMA ANTA RABBII LAA ILAAHA ILLAA ANTA KHALAQTANII WA ANAA ‘ABDUKA WA ANAA ‘ALAA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHA’TU, A’UUDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHANA’TU WA ABUU-U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA A’TARIFU BIDZUNUUBII FAGHFIR LII DZUNUUBII, INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA. (Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engaku, Engkau telah menciptakanku, dan aku adalah hambaMu, dan berada dalam perjanjian dan janjiMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan apa yang telah aku perbuat, dan aku mengakui kenikmatanMu yang Engkau berikan kepadaku dan mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah dosaku, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau). Tidak ada seorangpun diantara kalian yang mengucapkannya ketika sore hari kemudian datang kepadanya taqdir untuk meninggal sebelum datang pagi hari melainkan wajib baginya Surga, dan tidaklah ia mengucapkannya ketika pagi hari kemudian datang kepadanya taqdir untuk meninggal sebelum datang sore hari melainkan wajib baginya Surga. (HR.Tirmidzi : 3315 ).

Senin, 14 Oktober 2013

1.0 Batas-Batas 'Aurat Wanita

Mereka hendaklah menghindarkan diri daripada memuaskan nafsu syahwat secara haram dan juga daripada membuka aurat mereka di hadapan orang lain. Walaupun perintah kepada lelaki adalah sama dengan wanita dalam hal ini, tetapi sempadan aurat untuk wanita adalah berbeza dari yang diperintahkan kepada lelaki. Lagipun, aurat wanita terhadap lelaki adalah berbeza dengan
 yang diperintahkan terhadap wanita sendiri.

Aurat seorang wanita terhadap lelaki ialah keseluruhan tubuh badannya kecuali tangan dan muka. Ia tidak boleh dibuka di hadapan lelaki lain. Wanita tidak dibenarkan memakai pakaian yang nipis atau yang ketat yang mengikut bentuk badan dan yang boleh menampakkan kulit. Menurut satu hadith dari A'ishah, pernah kakaknya Asma' datang menemui Rasulullah s.a.w. dengan pakaian yang nipis. Rasulullah s.a.w. dengan segera memalingkan mukanya dan berkata:

"Wahai Asma', apabila seorang wanita telah baligh, dilarang membuka bahagian badannya kecuali muka dan tangan" (Abu Dawud)

Ibnu Jarir telah meriwayatkan peristiwa yang sama daripada kata kata A'ishah bahawa satu ketika anak perempuan Abdullah bin Tufail. datang menziarahinya. Apabila Rasulullah s.a.w. masuk ke dalam rumah, baginda nampak perempuan itu tetapi memalingkan mukanya ke arah lain.

A'ishah berkata:

"Ya RasululLah, dia itu anak saudaraku". Lalu Rasuiullah s. a. w. pun berkata: Apabila wanfta itu sudah baligh haram baginya menampakkan badannya kecuali tangan dan muka". Kemudian baginda menunjukkan maksud tangan itu dengan menggenggam tangannya sendiri daripada pergetangan tangan supaya tidak ada bahagian lebar yang tertinggat antara pergelangannya dan tapak tangannya"

Kelonggaran ini hanyalah untuk saudara mara yang rapat, seperti saudara lelaki, bapa dan lain lain, kerana keadaan yang memerlukan seperti membuat kerja kerja rumah. Contohnya dia boleh menggulung lengan bajunya semasa mengaul tepung atau melipat seluarnya semasa mencuci lantai.

Sempadan aurat wanita terhadap wanita, sama seperti sempadan aurat lelaki terhadap lelaki, iaitu daripada pusat hingga ke lutut. Ini tidak bermakna bahawa wanita boleh berkeadaan separuh telanjang di hadapan wanita lain. Ia hanyalah bererti yang bahagian dari pusat ke lutut mestilah sentiasa ditutup dan tidak pula bahagian lain.

Jika diperhatikan, tuntutan undang undang Allah yang diberikan terhadap wanita bukan hanya tuntutan yang dibuat terhadap lelaki, iaitu menahan pandangan dan memelihara kemaluan, tetapi ia juga menuntut beberapa perkara lain daripada wanita yang tidak dituntut dari kaum lelaki. Ini menunjukkan bahawa wanita dan lelaki berbeza dalam hal ini.

2.0 Perihal Perhiasan Wanita

"Perhiasan" termasuklah baju baju yang menarik, barang barang perhiasaan dan lain lain perhiasaan kepala, muka, tangan, kaki dan lain lain yang selalunya digunakan oleh wanita yang disebut dengan perkataan moden 'alat solek'. Perintah melarang menunjukkan 'alat solek' ini akan diperbincangkan secara terperinci dalam nota berikutnya.

Berbagai bagai terjemahan yang diberikan oleh berbagai bagai mufassirin tentang ayat ini dan telah mengelirukan pengertiannya yang sebenar. Maksudnya yang jelas kelihatan ialah "Wanita dilarang menampakkan persolekan dan perhiasan mereka kecuali yang nampak dengan sendiri" dan yang melebihi had kawalan mereka. Ini jelas bermaksud bahawa wanita dilarang dengan sengaja menampakkan alat solek mereka. Tetapi tiada dosa jika alat soleknya ternampak kerana tidak sengaja dan tanpa ditiup angin dan menampakkan perhiasannya atau baju luar itu sendiri yang tidak dapat disembunyikan lagi walaupun is boleh menjadi satu tarikan kerana ia adalah sebahagian daripada pakaian wanita. (Talfsiran ini yang telah diberikan pada ayat ini ialah daripada Abdullah bin Mas'ud, Hassan Basri, Ibnu Sirin dan Ibrahim Nakhai.)

Berlainan dengan ini, pihak mufassirin lain pula berpendapat bahawa ayat ini bermaksud "semua bahagian badan yang setaIunya nampak dan terbuka" dan mereka maksudkan juga tangan dan muka dan segala perhiasannya. (lnilah pendapat Ibnu Abbas dan pengikut pengikutnya dan segolongan ulama Hanafi)

Oleh itu, menurut mereka, wanita dibenarkan keluar dengan bebas dengan. muka yang terbuka yang telah disolek perhiasan perhiasana di tangan.

Walaupun begitu, kami (Sayyid Abul Ala al Mawdudi) tidak dapat menyetujui pendapat ini. Terdapat perbezaan yang besar antara "menampakkan sesuatu" dan "yang menjadi nampak dengan sendirinya". Yang pertama bererti "sengaja" dan yang kedua bererti "terpaksa atau dalam keadaan tiada berupaya". Lagipun tafsiran seperti itu menyalahi hadith hadith yang menyatakan bahawa wanita dilarang keluar dengan muka yang terbuka pada zaman Rasulullah s.a.w. dan selepas perintah purdah ditununkan. Perintah perintah ini juga bererti menutup muka menjadi sebahagian daripada pakaian wanita kecuali semasa haji di mana seseorang itu mesti berkeadaan ihram dan membuka mukanya. Satu lagi' hujah yang diberikan untuk menyokong pendapat ini ialah tangan dan muka tidak termasuk aurat wanita, padahal aurat dan purdah adalah dua perkara yang berbeza. Kesucian aurat tidak boleh dicabuli walaupun di hadapan muhrim lelaki seperti bapa. saudara lelaki dan lain lain. Purdah pula melebih aurat yang bererti mengasingkan wanita daripada lelaki bukan muhrim; perbincangan di sini hanyalah berhubung dengan perintah purdah dan bukan satar.

3.0 Perintah Memakai Tudung

Semasa zaman jahiliyyah sebelum Islam, wanita wanita selalu menggunakan sejenis ikat kepala yang diikat dan disimpulkan di belakang kepala. Belahan bajunya di hadapan dibiarkan terbuka separuh dan menampakkan leher dan sebahagian atas dada. Tiada lain yang menutupi dada dan buah dada kecuali hanya baju itu dan rambutnya pula didandan dengan dua atau tiga jalinan dan diikat di belakang seperti ekor.

Pada masa ayat ini diturunkan. tudung kepala pun diperkenalkan kepada wanita Islam yang digunakan untuk menutup kepala, buah dada dan bahagian belakang sepenuhnya. Bagaimana wanita Islam menyahut perintah ini telah diceritakan oleh A'ishah dengan jelas sekali. Dia menyatakan bahawa apabila surah al Nur diturunkan dan orang orang Islam pun mempelajarinya daripada Rasulullah s.a.w, mereka pun segera balik ke rumah masing masing dan membacanya kepada isteri isteri, anak anak perempuan dan saudara saudara perempuan mereka. Merekamereka ini menyahut dengan serta merta. Wanita Ansar, seorang demi seorang dan kesemuanya bangun serta merta untuk membuat tudung itu daripada apa saja kain yang ada di tangan mereka. Keesokan paginya, kesemua wanita yang datang bersembahyang di Masjid Nabi berpakaian yang berbungkus. Dalam satu hadith lain, A'ishah berkata bahawa kain kain yang nipis dibuang dan semua wanita itu memilih kain yang kasar untuk bertudung.

Kain penutupan yang diperintahkan itu hendaklah bukan dibuat daripada kain yang halus dan nipis. Wanita Ansar memahami tujuan sebenar perintah ini dan mengetahui kain jenis apakah yang patut digunakan. Allah sendiri telah menjelaskannya dan tidak membiarkan perintah Nya difahami sendiri oleh manusia.

Dihya Kalbi menyatakan yang mafhumnya:

"Satu ketika, Rasulullah s. a. w. dihadiahkan dengan sekeping kain kasa yang halus. Baginda berikan sedikit daripada kepadaku dan berkata: "Gunakan sebahagian daripadanya untuk baju kamu dan selebihnya berikan kepada isterimu untuk dibuat tudung tetapi dia hendaklah jahitkan sekeping kain lain di dalamnya supaya badannya tidak kelihatan menerusinya" (Abu Daud)

Ayat ini menceritakan batas kawasan yang dibenarkan. untuk wanita berjalan dengan bebas dengan segala persolekan dan perhiasan mereka. Luar dari lengkongan ini is tidak dibenarkan keluar dengan alat solek di hadapan orang lain, saudara mara ataupun orang yang tidak dikenali. Maksud perintah ini ialah wanita tidak boleh menampakkan perhiasannya di luar lengkongan ini dengan sengaja atau kerana kecuaiannya. Walaupun begitu apa yang ternampak dengan tidak sengaja setelah diberi perhatian dan jagaan atau apa apa yang adak boleh disembunyikan, adalah dimaafkan Allah.

4.0 Perihal Batasan 'Aurat Wanita dengan Kaum Kerabat

'Bapa' termasuk juga datuk dan bapa datuk (moyang) daripada pihak bapa dan juga pihak ibu. Wanita juga boleh menampakkan dirinya di hadapan datuk suaminya seperti dia berhadapan dengan bapanya sendiri atau bapa mertuanya.

'Anak lelaki' termasuk juga cucu lelaki dan anak cucu lelaki (cicit) daripada anak lelaki atau anak perempuan. Tiada bezanya antara anak sendiri dan anak tiri.

'Saudara lelaki' termasuk juga saudara kandung dan saudara tiri.

Anak lelaki saudara lelaki dan saudara perempuan termasuk juga anak lelaki, cucu lelaki dan cicit lelaki daripada ketiga tiga jenis saudara lelaki dan saudara perempuan.

5.0 Perihal Batasan 'Aurat Wanita dengan Selain Kaum Kerabat

Selepas saudara masa, orang lain pula disebut. Tetapi sebelum kita teruskan, adalah lebih baik jika difahami tiga perkara ini untuk menghindarkan kekeliruan.

Sesetengah 'ulama' berpendapat bahawa kebebasan untuk bergerak dan menunjukkan perhiasan wanita hanyalah dihadkan dalam lingkungan keluarga yang telah disebutkan di dalam ayat ini. Yang lain, seperti bapa saudara daripada pihak ibu dan bapa dikecualikan daripada senarai ini dan kerana mereka tidak disebut dalam al guran. Ini bukanlah satu pendapat yang betul. Rasulullah s.a.w melarang A'ishah memakai purdah di hadapan bapa saudara kandungnya dan juga bapa saudara angkatnya.

Satu hadith dari A'ishah yang mengatakan pada satu ketika Aflah, abang Abul Qu'ais, datang menemui A'ishah dan memohon kebenaran untuk masuk ke rumah. Oleh kerana perintah purdah telah pun diturunkan A'ishah enggan memberikan kebenaran. Dengan ini Aflah pun mengirim pesan iaitu:

"Adakah engkau berhijab depanku sedangkan aku bapa saudaramu." (Sihah Sitta dan Musnad Ahmad)

Tetapi A'ishah masih ragu ragu sama ada is boleh keluar tanpa menutup muka di hadapan saudara yang seperti itu. Sementara itu Rasulullah s.a.w pun balik dan dia membenarkan Aflah melihat A'ishah. Ini menunjukkan Rasulullah s.a.w. sendiri tidak menafsirkan ayat ini seperti yang dibuat oleh para ulama yang mengatakan kebenaran keluar tanpa purdah hanyalah di hadapan saudara mara yang disebut di dalam ayat ini sahaja dan bukan kepada orang lain. Baginda mentafsirkan bahawa tidak perlu memakai purdah di hadapan saudara mara yang mana perkahwinan dengan mereka dilarang, seperti bapa saudara pihak ibu dan bapa, menantu lelaki dan saudara saudara angkat.

Terdapat masalah tentang saudara mara yang dilarang berkahwin hanya buat sementara waktu sahaja; mereka ini tidak masuk dalam kumpulan mahram (di mana wanita bebas menampakkan diri mereka dan perhiasan mereka) ataupun dalam kumpulan orang yang asing yang langsung (di mana wanita dikehendaki memakai purdah di hadapan mereka). Dalam hal ini keputusan yang mutlak tidak ditenukan oleh syari'ah kerana tidak mungkin hal ini ditentukan. Memakai purdah atau tidak dalam keskes tersebut akan bergantung kepada perhubungan antara satu sama lain, umur wanita dan lelaki, ikatan keluarga dan perhubungan mereka dan lain lain keadaan (contohnya: penghuni sebuah rumah atau rumah rumah yang berasingan) Rasulullah s.a.w. sendiri telah memberi contoh dalam perkara ini sebagai panduan kepada kita. Banyak hadith telah menetapkan bahawa Asma', anak perempuan Abu Bakar, iaitu kakak ipar Rasulullah s.a.w menampakkan dirt di hadapan baginda tanpa menutup muka dan tangan (sehingga pergelangan tangan). Keadaan ini berjalan seterusnya hinggalah Haji Perpisahan yang berlaku beberapa bulan sebelum wafat Rasulullah s.a.w (Abu Daud)

Ummu Hani, anak Abu Talib dan sepupu Rasulullah s.a.w. juga tidak pernah menutup muka dan tangannya di hadapan Rasulullah s.a.w daripada mula hingga ke akhir hayatnya. Dia sendiri telah meriwayatkan ssatu peristiwa tentang penaklukan Mekah yang mengesahkan bahawa dia tidak memakai purdah di hadapan Rasulullah s.a.w.

Berbeza dengan ini, Abbas pernah menghantar anak lelakinya Fadal, dan Rabi'ah bin Harith bin Abdul Muttalib, sepupu Rasulullah s.a.w, pula menghantar anaknya Abdul Muttalib kepada Rasulullah s.a.w untuk memohon pekerjaan supaya mereka boleh berkahwin setelah mereka boleh mencari pendapatan sendiri. Mereka berdua berjumpa Rasulullah s.a.w di rumah isterinya Zainab, iaitu sepupu Fadal dan sepupu dengan bapa Abdul Muttalib bin Rabi'ah. Tetapi Zainab tidak keluar menemui mereka tetapi hanya bercakap di belakang tabir dengan kehadiran Rasullulah s.a.w. Dengan kedua dua peristiwa tadi maka dapatlah kita buat keputusan seperti yang telah disebutkan di atas.

Dalam kes di mana perhubungan itu sendiri masih ragu-ragu maka purdah hendaklah digunakan walau pun di hadapan saudara yang mahram. Bukhari, Muslim dan Abu Daud meriwayatkan kes Saudah, isteri Rasulullah s.a.w yang mempunyai saudara lelaki daripada hamba wanita. Utbah, bapa Saudah dan bapa budak lelaki itu, meninggalkan wasiat menyuruh abangnya, Saad bin Abi Waqqas memelihara budak lelaki itu sebagai anak saudara kerana di adalah daripada zuriatnya. Bila kes itu diketahui Rasulullah s.a.w baginda menolak tuntutan Sa'd, dan berkata:

"Budak lelaki ini adalah hak dia yang mengeluarkan benihnya dan untuk penzina, biarlah batu menjadi nasibnya." (Muslim dan Abu Daud)

Tetapi dalam masa yang sama dia menyuruh Saudah memakai purdah di hadapan budak lelaki itu kerana ragu ragu itu adik lelakinya.

Perkataan 'Arab nisa-i-hinna bererti "wanita di kalangan mereka". Sebelum kita membincangkan apakah yang dimaksudkan dengan wanita, adalah lebih baik jika diperhatikan bahawa perkataan yang digunakan bukanlah al Nisa', yang hanya bermaksud "wanita" tetapi nisa-i-hinna yang bermaksud "wanita di kalangan mereka". Dalam kes yang terdahulu, wanita Islam dibenarkan membuka purdahnya di hadapan semua jenis wanita dan menampakkan perhiasannya. Walaupun begitu, perkataan nisa-i-hinna telah menghadkan kebebasan ini dalam lingkungan yang terhad. Para ulama mempunyai pelbagai pendapat mengenai apa yang dimaksudkan dengan lingkungan yang terhad ini.

Menurut satu kumpulan, "wanita di kalangan mereka", ialah wanita Islam sahaja: wanita bukan Islam, zimmi ataupun yang lain dikecualikan dan purdah hendaklah digunakan di hadapan mereka ini seperti juga di hadapan lelaki. Ibnu Abbas, Mujahid dan Ibn Juraij berpendapat demikian dan menyebut satu peristiwa untuk menguatkan pendapat mereka: Khalifah Umar menulis surat kepada Ubaidah:

"Aku mendengar setengah wanita Islam sudah mula pergi ke tempat mandi umum bersama sama dengan wanita yang bukan Islam. Dilarang wanita Islam yang beriman kepada Allah dan akhirat menampakkan badannya di depan wanita lain selain daripada golongannya." Apabila mendapat surat ini, Abu Ubaidah menjadi amat sedih dan berkata "Semoga muka wanita yang pergi ke tempat mandian itu yang inginkan putih dijadikan hitam di hari akhirat nanti"! (Ibn Jarir, Baihaqi)

Sekumpulan lain, termasuk Imam Razi berpendapat bahwa "Wanita di kalangan kamu" ialah kesemua wanita tanpa pengecualian. Tetapi tidak mungkin pendapat ini boleh diterima kerana jika demikian, perkataan al-nisa sahaja sudah memadai dan tidak perlu lagi dengan perkataan nisa-i-hinna.

Pendapat yang ketiga adalah lebih munasabah dan lebih hampir dengan ayat al Quran, iaitu "wanita dari kalangan mereka" bererti wanita yang biasa dan kenal kepada mereka yang selalu mereka temui dalam kehidupan harian mereka dan wanita yang bersama sama mengerjakan kerja kerja rumah dan kerja-kerja lain, baik yang Islam ataupun yang bukan Islam. Tujuan sebenarnya di sini ialah untuk mengasingkan wanita asing dari lingkungan mereka yang mempunyai latarbelakang kebudayaan dan akhlak yang tidak diketahui ataupun wanita yang perangainya sebelum itu diragukan dan sukar dipercayai.

Pendapat ini juga di sokong oleh beberapa hadith sahih yang menyebut bahawa wanita zimmi pernah melawat isteri isteri Rasulullah s.a.w Perkara sebenar yang menjadi faktor penentu berhubung dengan ini ialah akhlak dan bukan kepercayaan agama. Wanita Islam boleh bertemu dan membuat perhubungan sosial yang baik dengan wanita wanita yang mulia, baik dan suci yang datang dari keluarga yang dikenali dan dipercayai walaupun mereka itu bukan Islam. Tetapi mereka mesti memakai purdah di hadapan wanita yang jahat, buruk akhlak dan keji walaupun mereka itu "Islam". Pergaulan mereka daripada segi akhlak adalah merbahaya sama seperti pergaulan dengan lelaki lain. Perhubungan dengan wanita yang tidak biasa dan tidak dikenali hendaklah dianggap seperti saudara bukan muhrim. Seseorang wanita boleh membuka mukanya dan tangannya di hadapan mereka tetapi hendaklah menutup badannya yang lain dan menyembunyikan perhiasannya.

6.0 Perihal Aurat Wanita di Hadapan Hamba

Terdapat perbezaan pendapat di kalangan ulama tentang makna yang betul berkenaan perintah ini. Sekumpulan mereka berpendapat ia hanya ditujukan kepada hamba wanita yang dipunyai oleh seorang perempuan. Mereka mentafsirkan perintah Allah ini dengan maksud bahawa seorang wanita Islam boleh menampakkan perhiasannya di hadapan seorang hamba perempuan walaupun hamba itu seorang Musyrik atau Yahudi atau Nasrani. Tetapi ia tidak boleh keluar di hadapan seorang hamba lelaki walaupun hamba itu adalah hak miliknya yang sah kerana menurut perintah purdah, hamba lelaki hendaklah dianggap seperti seorang lelaki asing. (Inilah pendapat Abdullah bin Mas'ud. Mujahid. Hassan Basri. Ibn Sirin. Sa'id bin Musayyab, Ta'us dan Imam Abu Hanifah dan terdapat satu kenyataan dari Imam Shafi'i yang juga menyokong pendapat ini.)

Hujah mereka ialah hamba bukanlah mahram tuannya; jika ia dibebaskan, dia boleh berkahwin dengan tuannya dahulu. Oleh kerana ia seorang hamba tidak bererti ia berhak dianggap sebagai mahram dan membenarkan tuan wanitanya menampakkan diri dengan bebas di hadapannya.

Satu pertanyaan timbul iaitu kenapa perkataan "budak yang mereka milik" hanya dihadkan kepada hamba wanita padahal ianya satu istilah yang umum dan boleh digunakan untuk kedua dua hamba lelaki dan juga wanita. Menurut ulama walaupun rangkai kata "budak yang mereka miliki" disebut selepas "Wanita di kalangan mereka" dalam ayat ini dapatlah difahamkan ianya ditujukan kepada saudara mara dan rakan rakan wanita ini boleh memberi salah faham yang hamba wanita tidak termasuk dalam kumpulan ini. Oleh itu perkataan "budak yang mereka miliki" digunakan untuk menjelaskan bahawa seorang wanita boleh mempamerkan perhiasannya di hadapan hamba wanita seperti di hadapan wanita di kalangan mereka.

Sekumpulan lain pula berpendapat bahawa perkataan "budak yang mereka miliki" termasuk hamba lelaki dan wanita. (Ini adalah pendapat A'ishah. Umm Salamah dan ulama‑ulama lain daripada keluarga Rasulullah s.a.w. dan dari Imam Shafi.)

Hujah mereka bukan hanya atas dasar maksud am perkataan ini. tetapi mereka juga mengambil beberapa peristiwa daripada peristiwa daripada sunnah untuk menguatkan hujah mereka. Contohnya ialah peristiwa di mana Rasulullah s.a.w. pergi ke rumah anaknya, Fatimah bersama dengan hambanya Abdullah bin Musa'dah al Fazari. Pada masa itu Fatimah sedang memakai sekeping kain yang jika cukup menutupi kepalanya akan menampakkan kakinya dan akan menampakkan kepalanya jika ia cuba menutup kakinya. Rasulullah s.a.w sedar akan keadaan yang memalukannya dan berkata:

"Tiada salahnya: hanya ayahmu dan hambamu" (Abu Daud, Ahmad. Baihaqi dari Abas bin Malik)

Ibn Asakir menyebut bahawa Rasulullah s.a.w telah memberikan hamba itu kepada Fatimah dan dipeliharanya sehingga besar dan kemudian dibebaskan tetapi lelaki itu tidak berterima kasih. Dalam peperangan Siffin, dia menjadi musuh ketat kepada Ali dan penyokong kuat kepada Amir Muawiyah. Mereka juga menyebut kata kata ini daripada Rasulullah s.a.w. untuk menguatkan pendirian mereka iaitu:

"Bila salah seorang dari kamu bersetuju untuk membebaskan hambanya dan hamba itu pula mempunyai apa apa yang diperlukan untuk membeli kebebasannya, maka tuan wanitanya hendaklah memakai purdah di hadapannya." (Abu Daud. Tarmizi. Ibnu 'vIajah dari Ummu Salamah)

7.0 Perihal Aurat Wanita di Hadapan Lelaki yang Sudah Tidak Berkemahuan

Terjemahan dalam erti kata yang sebenarnya ialah: "pelayan pelayan Ielaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)". Maksudnya yang paling ketara selain lelaki mahram ialah lelaki yang memenuhi syarat ini yang membolehkan wanita menampakkan perhiasannya:

Dia hendaklah bebas dari kehendak nafsu syahwat kerana sudah tua ataupun mati pucuk atau lemah akal atau papa dan rendah kedudukan sosialnya serta tidak berdaya menaikkan nafsunya ataupun yang boleh memikirkan perkara perkara yang keji terhadap isterinya, anak perempuan, kakak atau ibu tuannya. Sesiapa yang mempelajari perintah ini dalam semangat yang benar dengan tujuan untuk mentaatinya dan bukan untuk mencari jalan dan helah untuk lari darinya atau melanggar nya, adab menghargai bahwa pembawa surat, tukang masak, tukang pandu kerata tuannya dan lain lain pembantu rumah yang diambil bekerja tidak termasuk dalam kumpulan ini.

Penjelasan yang berikut diberikan oleh beberapa mufasirin dan ulama tentang perkara ini yang menunjukkan lelaki manakah yang dimaksudkan oleh ayat ini :

Ibn Abbas: Maksud ayat ini ialah seorang lelaki yang lurus dan dada minat terhadap wanita.

Qatadah: Lelaki yang miskin vang hanya membuat hubungan denganmu kerana memerlukan sara hidupnya.

Mujahid: Seorang yang bodoh yang hanva memerlukan makanan dan tiada keinginan terhadap wanita.

Al Sha'bi: Seorang yang rendah pangkatnya dan mengharap sepenuh kepada tuannya dan tidak berani memandang dengan pandangan yang jahat kepada wanita wanita di dalam rumah tuannya.

Ibnu Zaid: Seseorang yang tinggal lama dengan satu keluarga sehinggakan ia dianggap sebagai ahli keluarga itu dan telah diperbesarkan di dalam rumah itu dan tidak mempunyai keinginan terhadap wanita-wanita dalam rumah itu. Dia berada di situ hanyalah kerana perlukan sara hidup daripada keluarga itu.

Ta'us dan al Zuhri: Seorang yang bodoh yang tidak berkemahuan kepada wanita ataupun berdaya untuk melakukannva.

Penjelasan yang paling baik berhubung dengan ini ialah satu peristiwa yang berlaku di zaman Rasulullah s.a.w. yang telah disebut dalam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa'i dan Ahmad daripada A'ishah dan Ummu Salamah. Terdapat seorang lelaki yang telah dikembiri di Madinah dan telah dibenarkan bertemu isteri Rasulullah s.a.w. dengan bebas dan juga wanita-wanita llain di bandar itu kerana ketidakupayaannya melakukan hubungan jenis. Satu hari, Rasulullah s.a.w. pergi ke rumah isterinya Ummu Salamah iaitu Abdullah bin Abi Umayyah. Dia memberitahu Abdullah jika Taif dapat ditawan keesokan harinya, dia akan cuba mendapatkan Badia, anak perempuan Ghailan Thaqafi. Kemudian dia mula memuji kecantikan Badia dan juga keghairahan tubuh badannya dan sampai menceritakan tentang auratnya. Apabila Rasulullah s.a.w. mendengar perbualan ini, beliau pun berkata yang mafhumnya:

"Wahai musuh Allah, kamu seolah olah telah melihatnya betul-betul."

Kemudian baginda memerintahkan wanita berpurdah di hadapannya dan dia dilarang bebas masuk ke dalam rumah rumah mereka lagi.

Selepas ini baginda menghalaunya keluar dan melarang lelaki kembiri yang lain memasuki rumah rumah kerana wanita wanita tidak melarang kehadiran mereka tetapi dalam masa yang sama lelaki lelaki itu akan menceritakan hal wanita wanita dari sebuah rumah kepada lelaki di rumah yang lain. Ini menunjukkan bahawa perkataan "tiada nafsu syahwat" tidak hanya bererti tidak boleh melakukan hubungan jenis sahaja. Sesiapa yang cacat anggota tetapi masih melayan kehendak nafsunya dan berminat terhadap wanita juga boleh menjadi punca kejahatan.

8.0 Perihal Aurat Wanita di Hadapan Kanak-kanak

Aurat Wanita Iaitu kanak kanak yang belum mempunyai nafsu syahwat yang biasanya dalam umur paling tinggi, 11 hingga 12 tahun. Budak lelaki yang lebih tua mungkin sudah mempunyai perasaan syahwat walaupun mereka masih belum dewasa.

9.0 Perihal Wanita dan Haruman

Rasulullah s.a.w. tidak membataskan perintah ini hanya dengan bunyi perhiasan itu tetapi baginda telah menetapkan satu prinsip darinya. Selain dari menenung segala yang menaikkan perasaan adalah bercanggah dengan tujuan Allah melarang wanita menampakkan perhiasannya. Oleh itu baginda melarang wanita keluar dengan memakai bau bauan. Menurut Abu Hurairah, Rasulullah berkata yang mafhumnva:

"Janganlah melarang wanitamu datang ke masjid, tetapi janganlah mereka datang berbau wangi wangian." (Abu Daud, Ahmad)

Menurut satu hadith lain, Abu Hurairah lalu di sebelah seorang wanita yang baru keluar dari masjid dan berasa yang wanita iaitu ada memakai wangi wangian. Dia menahannya dan berkata:

"Wahai hamba Allah, adakah kamu datang dari masjid?" Apabila wanita itu mengiakannya, dia berkata lagi. 'Aku telah mendengar orang yang aku kasihi Abul Qasim berkata sembahyang seseorang wanita yang datang ke masjid dengan bau bauan yang harum tidak akan diterima sehingga dia membersihkan dirinya dengan mandi yang sempurna seperti mandi setelah mengadakan hubungan jenis". (Abu Daud. Ibnu Majah, Ahmad. Nasa'i)

Abu Musa Ash'ari berkata bahawa Rasulullah s.a.w. berkata:

“Seseorang wanita yang lalu di jalan dengan memakai bau bauan harum supaya orang lain dapat menikmati keharuman itu adalah ini dan ini: (iaitu penzina).” (Tarmidhi, Abu Daud, Nasa'i)

Tetapi Rasulullah memerintahkan supaya wanita memakai bau bauan yang terang warnanya tetapi nipis baunya. (Abu Daud)

10.0 Perihal Suara Wanita

Rasulullah s.a.w. juga melarang suara wanita didengari lelaki jika tidak perlu. Dalam kes yang memaksa al Quran sendiri membenarkan wanita bercakap dengan lelaki dan isteri Rasulullah s.a.w. sendiri mengajar orang lain dalam hal hal keagamaan. Tetapi bila tiada keperluan atau ada tujuan agama dan kebaikan, wanita tidak digalakkan memperdengarkan suaranya kepada lelaki. Oleh itu, jika imam tersalah dalam sembahyang berjemaah dia hendaklah diberi amaran oleh lelaki dengan berkata "SubhanAllah" (Maha Suci Allah) dan wanita pula hendaklah menepuk tangan mereka sahaja. (Bukhari, Muslim, Ahmad, Tarmizi, Abu Daud, Nasa'I, Ibnu Majah)

11.0 Adab Adab Pergaulan Lelaki dan Wanita

Adalah berfaedah juga jika kita memberikan satu ringkasan tentang perkara perkara kebaikan yang lain yang diperkenalkan oleh Rasulullah s.a.w kepada masyarakat Islam setelah turunnya perintah perintah ini.

Dia melarang lelaki lain (walaupun saudara mara) berjumpa dengan seorang wanita sendirian atau duduk bersamanya tanpa kehadiran saudara muhrim wanita itu. Jabir bin Abdullah meriwayatkan kata kata Rasulullah s.a.w iaitu yang mafhumnya:

"Janganlah menziarah wanita yang suaminya tiada di rumah kerana syaitan itu berada di dalam dirimu seperti darah.” (Tarmidhi)

Menurut satu hadith lain dari Jabir, Rasulullah s.a.w berkata yang mafhumnya:

"Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhhirat, jangan sekali kali berjumpa seorang wanita sendirian kecuali bersama seorang mahramnya kerana orang yang ketiga ialah syaitan". (Ahmad)

Imam Ahmad telah menyebut satu hadith dari 'Amir bin Rabi'ah yang sama bunyinya. Rasulullah sendiri sangat berhati hati dalam soal ini. Satu ketika, baginda ditemani oleh isterinya Safiyyah untuk ke rumahnya pada waktu malam. Dua lelaki Ansar lalu di situ. Rasulullah s.a.w. memberhentikan mereka dan berkata yang mafhumnya:

"Wanita yang bersamaku ialah isteriku, Safiyyah." Mereka berkata: " Maha Suci Altah. Ya Rasulullah, bolehkah kami berasa syak terhadapmu?. Rasulullah s.a.w, menjawab: "Syaitan bergerak seperti darah di dalam badan: aku khuatir syaitan akan mendatangkan sesuatu yang tidak baik ke dalam fikiranmu." (Abu Daud)

Rasulullah s.a.w. tidak membenarkan tangan lelaki menyentuh badan wanita yang bukan mahramnya. Sebab itulah semasa berbai'ah, baginda hanya memegang tangan lelaki tetapi tidak pernah berbuat demikian terhadap wanita. A'ishah berkata bahawa Rasulullah s.a.w tidak pernah menyentuh badan wanita lain. Baginda akan mengambil bai'ah mereka hanya dengan kata kata; setelah bai'ah dijalankan, baginda akan berkata yang mafhumnya:

"Kamu boleh pergi sekarang, bai'ah sudah sernpurna" (Abu Daud)

Baginda melarang keras seseorang wanita bepergian seorang diri tanpa seorang mahram atau ditemani oleh seorang bukan mahram. Satu hadith dari Ibnu Abbas yang disebut dalam Bukhari dan Muslim menyatakan bahawa Rasulullah s.a.w. memberi khutbah dan berkata yang mafhumnya:

"Jangan seorang lelaki pun menziarah seorang wanita lain yang sedang bersendirian kecuali seorang mahram berada di sisinya. Janganlah seorang wanita pun berjalan seorang diri kecuali ditemani oleh seorang mahram." Seorang lelaki bangun dan berkata: "Isteriku hendak pergi mernbuat haji dan aku pula di bawah arahan untuk mengikuti satu peperangan." Rasulullah s.a.w. berkata: "Kamu boleh pergi haji bersarna isterimu." (Bukhari dan Muslim)

Beberapa hadith yang lain daripada Ibnu Umar, Abu Said Khudri dan Abu Hurairah tentang hal ini yang terdapat dalam buku buku hadith sahih juga menyebut larangan wanita Islam yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat bepergian tanpa seorang muhrim.

Walaupun begitu. terdapat perbezaan tentang jangka masa dan jauhnya perjalanan itu. Sesetengah hadith menyatakan batas yang minima ialah 12 batu dan setengah pula berpendapat satu hari, sehari semalam, dua hari ataupun tiga hari.

Perbezaan ini tidak membuatkan hadith itu tidak sahih ataupun kita memilih satu pendapat sahaja untuk dijadikan undang undang daripada pendapat pendapat yang lain. Penjelasan yang munabasah tentang perbezaan pendapat ini ialah mungkin Rasulullah s.a.w telah memberi arahan yang berbeza menurut dan keperluan sesuatu keadaan. Contohnya, seorang wanita yang hendak keluar selama tiga hari tanpa mahram dilarang sementara wanita lain yang hendak keluar sehari perjalanan juga mungkin dilarang. Perkara yang sebenarnya di sini ialah bukan arahan yang berbeza beza untuk orang yang berbeza beza dalam keadaan yang berbeza beza, tetapi prinsipnya ialah wanita tidak boleh bepergian tanpa seorang mahram seperti yang disebutkan di dalam hadith di atas dari Ibnu 'Abbas.

Baginda bukan hanya mengambil langkah langkah praktikal untuk melarang pergaulan bebas antara lelaki dan wanita tetapi juga melalui kata kata: Setiap orang tahu betapa pentingnya sembahyang jemaah dan sembahyang Jumaat dalam Islam. Sembahyang Juma'at telah diwajibkan oleh Allah sendiri. Kepentingan sembahyang berjemaah juga boleh dinilai dari hadith Rasulullah s. a.w. iaitu yang mafhumnya:

"Jika seseorang tidak hadir di masjid tanpa alasan yang boleh diterima dan bersembahyang di rumah, ia tidak akan diterima Allah." (Abu Daud, Ibnu Majah, Daraqutni, Hakim daripada Ibnu Abbas)

Walaupun begitu Rasulullah s.a.w telah mengecualikan wanita daripada sembahyang Jumaat di masjid. (Abu Daud, Daraqutni, Baihaqi)

Bagi sembahyang sembahvang jemaah yang lain, kedatangan mereka tidak dipaksa. Baginda berkata: "Jangan menghalang mereka jika mereka hendak datang ke masjid." Kemudian. dalam masa yang sama baginda menjelaskan bahawa sembahyang mereka di rumah mereka adalah lebih baik daripada di masjid. Menurut Ibnu Umar dan Abu Hurairah. Rasulullah s.a.w berkata yang mafhumnya:

“Jangan menghalang hamba Allah dari datang ke masjid Allah”. (Abu Daud, hadith‑hadith lain daripada Ibnu Umar)

"Benarkan wanita hadir di masjid pada waktu malam." (Bukhari. Muslim. Tarmidhi, Nasa'i. Abu Daud)

"Jangan melarang kaum wanitarnu daripada datang ke masjid walaupun rumah mereka adalah lebih baik untuk meraka dari masjid." (Ahmad. Abu Daud)

Umm Humaid Sai'idiyyah berkata bahawa dia pernah berkata kepada Rasulullah s.a.w. "Ya Rasulullah, aku tersangat ingin sembahyang di belakangmu." Jawab baginda yang mafhumnya: "Sembahyangmu di bilikmu lebih baik daripada sembahyang di serambi dan sembahyangmu di dalam rumahmu lebih baik daripada di dalarn masjid yang berhampiran dan sembahyangmu di masjid besar di bandar." (Ahmad, Tabarani)

Satu hadith yang sama diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud dalam Abu Daud. Menurut Umm Salamah, Rasulullah s.a.w. berkata: "Masjid yang paling baik untuk wanita ialah bahagian yang paling dalam sekali di dalam rumahnya.” (Ahmad, Tabarani)

Tetapi bila A'ishah melihat keadaan semasa zaman Umayyah, dia berkata:

"Jika Rasulullah dapat menyaksikan kegiatan wanita, tentu dia akan melarang wanita masuk ke masjid seperti larangan terhadap wanita Israel." (Bukhari, Muslim, Abu Daud)

Rasulullah s.a.w. juga telah mengarahkan satu pintu masuk masjid dikhaskan untuk wanita dan semasa Umar memerintah, dia melarang keras lelaki menggunakan pintu itu. (Abu Daud)

Dalam sembahyang jemaah, wanita disuruh berdiri di belakang dan diasingkan dari lelaki; apabila sembahyang telah tamat, Rasulullah s.a.w dan sahabatnya duduk sebentar supaya wanita boleh meninggalkan masjid sebelum lelaki beredar. (Ahmad, Bukhari)

Rasulullah s.a.w berkata yang mafhumnya:

"Barisan yang paling baik bagi lelaki ialah yang paling hadapan sekali dan barisan yang paling tidak baik ialah yang di penghabisan (paling dekat dengan barisan wanita) dan barisan yang paling baik bagi wanita ialah yang paling belakang dan yang sebaliknya ialah yang hadapan (yang hampir belakang lelaki)." (Muslim, Abu Daud, Tarmizi, Nasa'I, Ahmad)

Wanita juga turut sama bersembahyang jamaah hari raya tetapi mereka mempunyai kawasan tertutup yang berasingan dari lelaki. Selepas khutbah, Rasulullah s.a.w. selalunya memberi taklimat yang berasingan kepada meraka. (Abu Daud, Bukhari, Muslim)

Satu ketika Rasulullah s.a.w. ternampak lelaki dan wanita berjalan sebelah menyebelah di khalayak ramai di luar masjid. Baginda memberhentikan para wanita itu dan berkata kepada meraka yang mafhumnya:

"Tidak sopan bagi kamu berjalan di tengah tengah jalan; berjalanlah di tepi."

Apabila mendengarnya. wanita wanita itu pun mula berjalan di tepi tembok. (Abu Daud)

Kesemua perintah ini jelas menunjukkan perhimpunan yang bercampur gaul di antara lelaki dan wanita memang tidak dapat diterima Islam. Tidak mungkin undang undang Allah yang melarang lelaki dan wanita berdiri sebelah menyebelah untuk bersembahyang di dalam rumah rumah suci Allah membenarkan mereka bergaul bebas di kolej kolej, pejabatpejabat, kelab kelab dan lain lain perhimpunan.

Baginda membenarkan wanita menggunakan alat solek dengan sederhana malah menyuruh mereka berlaku demikian tetapi melarang keras jika berlebih lebihan. Dari beberapa jenis persolekan dan perhiasan yang banyak digunakan oleh wanita .Arab zaman dahulu ada beberapa jenis yang diisytiharkan oleh baginda sebagai sesuatu yang terkutuk dan merosakkan masyarakat, iaitu:

5.1 Menambah rambut palsu kepada rambut sendiri supaya rambut kelihatan lebih panjang dan lebat

5.2 Mencacah (tattoo) kulit badan dan membuat tahi lalat palsu

5.3 Mencabut bulu kening untuk membentuknya atau mencabut bulu roma di muka supaya muka kelihatan lebih bersih

5.4 Mengasah gigi supaya lebih tajam atau melubangkannya dengan sengaja

5.5 Menyapu muka dengan kunyit (atau warna kuning) atau lain lain alat solek untuk menjadikan air muka yang lain daripada asal.

Kesemua perintah ini diriwayatkan dari A'ishah, Asma' binti Abu Bakar. Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Amir Muawiyah melalui perawi perawi yang boleh dipercayai.